Sabtu, 6/9/2014 tetangga saya minta ditemenin rapat orangtua murid di salah satu SMP negeri, Kabupaten Bekasi. Sekitar jam 9 pagi, kami sampai di halaman sekolah. Dan disana sudah ada 400 lebih orangtua murid dengan tujuan sama: Rapat Penyampaian Progam Sekolah, demikian seperti tertulis diundangannya.
[caption id="attachment_357715" align="alignnone" width="700" caption="Undangan : butuh sumbangan sukarela, maka pertanggungjawabannya juga sukarela. "][/caption]
Banyaknya peserta rapat tak semuanya tertampung di dalam gedung. Sebagian beruntung dapat kursi di teras dan lainnya berdiri, termasuk kami.
Rapat di buka molor setengah jam, dan baru dimulai 9.30 dengan pidato ketua komite memperkenalkan anggotanya dan agenda rapat. Lalu dilanjut inti rapat dengan pembicara kepsek.
Singkatnya pidato kepsek adalah ingin melaksanakan kurikulum 2013 seoptimalnya, namun perlu tambahan dana dari parent. Pidato dengan menampilkan ilustrasi data berupa angka-angka rupiah yang ditampilkan ke layar besar cukup mempesona hadirin. Data-data tersebut lalu diperkenalkan oleh kepsek sebagai Rencana Anggaran Belanja Sekolah. Wow.., kesannya ilmiah, valid dan resmi.
Kepsek menjelaskan, bahwa dana dari pusat memang ada, makanya putra-putri bapak/ibu bisa sekolah gratis disini. Juga ada dana dari pemprov dan pemkab, dan jika ditotal sekolah menerima Rp.1.573M.
“Bapak-ibu sekalian, umpama sekolah ini diibaratkan warung nasi, maka dana sebesar itu cuma cukup jadi warteg. Baru ada menu pokok, nasi sayur dan tempe. Belum ada vitaminnya. Pemerintah menggelontorkan BOS cuma untuk buku. Tapi untuk fasilitas seperti lapangan olah raga, mushola/masjid, toilet, halaman berpaving tak dipedulikan”, kata kepsek dengan semangat 45.
Lalu beliau melanjutkan, “Sekolah ini cuma punya 5 toilet (dan itupun tak layat pakai, penulis) untuk 1000 lebih siswa. Padahal kurikulum 2013 memaksa murid pulang sore. Jadi dengan jumlah toilet tersebut cukup menyiksa siswa. Kalau cowok bisa lari ke kebon. Nah kalau anak perempuan?”
Kepsekmeneruskan pidato, “Untuk suksesnya kurikulum 2013, tiap kelas membutuhkan proyektor, agar guru bisa mengajar maksimal dan murid boleh bawa laptop. Disamping itu atas usaha saya, sekolah ini sekarang sudah menyediakan wifi, gratis. “
Setelah menjelaskan sejam lebih, inti pidato kepsek yang sempat nyantol di memori saya :
1.Sekolah butuh proyektor dan perlu dana Rp.80 jutaan (estimasi: Rp.5jt/proyektor)
2.Membangun fasilitas masjid Rp.10 jutaan
3.Membangun faslitas toiletRp.12 jutaan
4.Memperbaiki fasilitas olah raga Rp.60jutaan
Ditambah kebutuhan lain-lain, jadi total butuh Rp.234 jutaan.
Kemudian kepsek melanjutkan, jumlah dana tersebut di tangung-renteng 576 siswa (khusus kelas VII saja), jika dikurangi siswa pra-sejahtera maka bapak-ibu dapat beban Rp.406 ribu/siswa.
“Bapak-ibu sekalian, ini bukan paksaan. INI SUKARELA…. SUKARELA… SUKARELA. Syukur-syukur ada orangtua yang kaya, dan kasih lebih saya juga tidak menolak”, demikian pidato kepsek setengah bercanda.
Selesai pidato lalu dibuka tanya-jawab. Rupanya audiens tak ada yang bertanya kritis. Seorang bapak maju lalu protes, “Bapak kepala sekolah mohon jangan berkata ‘keluarga miskin atau tidak beruntung, karena saya tahu yang sekolah disini orang mampu semua”.
Padahal sepanjang pengetahuan saya, SMP negeri ini menerima siswa prasejahtera dengan kuota 20%. Selebihnya orangtuanya rata-rata pegawai dan buruh pabrik. Sementara yang jadi bos asli dan pengusaha besar tak lebih hitungan jari tangan.
Tetangga saya yang minta ditemanin rapat, memang bukan orang miskin dan pasti menolak disebut orang susah. Ia, dengan 3 anak dan satu isteri termasuk golongan orang pas-pasan. Penghasilannya pas untuk ngangsur KPR, cicil motor dan bayar pulsa hp anak-isteri. Kalaupun diminta sumbangan SUKARELA pun ia bilang, “Tak masalah, saya akan nyumbang. Uang itu kan juga buat anak saya juga. Dan lagian sumbangan itu bisa dicicil 6 kali”, demikian jawabnya ketika saya tanya soal sekolah minta sumbangan sukarela.
Pidato yang hampir dua jam, saya tak mendengar kepsek menjelaskan tentang bagaimana nanti laporan pertanggungjawaban kepada parent terhadap dana sukarela tersebut? Akhirnya rapat ditutup, dan tidak satupun hadirin punya pertanyaan kritis.
Berhubung saya bukan wali murid dan tidak punya hak bertanya, maka melalui kompasiana ini saya punya beberapa pertanyaan yang mengganjal di hati :
1.Kelas butuh proyektor, perlu kajian komprehensif : Mengajar dengan bantuan proyektor butuh persiapan khusus. Laptop guru dituntut selalu update dengan materi pelajaran dan persiapan matang agar saat presentasi bisa efektif dan efisien. Pengalaman di sekolah lain mencontohkan, proyektor dianggurin (tdk dipakai) karena isi laptop guru bukan materi pelajaran melainkan cuma buat update facebook dan semacamnya. Guru type ini lebih suka mengajar bawa spidoluntuk menulis di whiteboard , dengan alasan lebih simple.
2.Jika kelas pakai proyektor, konsekuensinya seluruh siswa harus bawa laptop agar terjadi sinkronisasi : Faktanya, tidak sampai separuh orang tua mampu beli laptop. Dan jika yang separuh mampu beli laptop, kurang dari setengahnya yang bisa memakai aplikasi office paling elementer.Siswa berlaptop dan siswa nonlaptop karena tidak mampu beli, akan menimbulkan kecemburuan dan kegaduhan di ruang kelas.
3.Sekolah butuh tambahan toilet : Lebih baik toilet yang sudah ada tapi tak terawat (air sering on-off, jorok dan bau), dibersihkan agar siswa tidak takut memakainya.
4.Minta sumbangan untuk mesjid : Menurut sumber terpercaya, ini alasan klasik tiap tahun ajaran baru. Faktanya, mesjid memang berdiri, tapi progresnya lambat. Sudah lebih tiga tahun belum 100% finish.
Kita tak mungkin menghindar apalagi menolak era internet yang syarat dengan teknologi computer. Namun bukan berarti latah proses belajar mengajar di kelas perlu proyektor. Andai hal ini dipaksakan, dipastikan akan mubasir. Sama seperti pembantu tumah tangga, punya gadget canggih, namun hanya untuk telpon dan update facebook.
Sekedar sumbangsih pemikiran, alangkah lebih elok andai kepsek bikin website sekolah yang baik dan bisa diakses oleh mereka yang terlibat proses belajar mengajar. Seluruh info sekolah, aktivitas maupun Rencana Anggaran Belanja Sekolah dapat dipantau public. Sebagai parent, selama ini sudah cukup sering diminta partisipasi dana. Namun, dalam penggunaannya tak pernah ada laporan ke orangtua/wali murid.
Sebagai warga yang peduli pendidikan bermutu, tulisan ini bukan dimaksud menyudutkan siapapun apalagi buat ajang provokasi. Yang merasa kaya dan mau nyumbang, monggo. Yang tidak mau nyumbang, juga tidak dosa apalagi dipenjara.
Salam orangtua cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H