Diawal kemerdekaan, soal demokrasi, Sukarno pun mengeluh, "dikiranya Indonesia merdeka ini, rakyat bisa naik sepur (kereta api) gratis". Maka Sukarno punya ide demokrasi terpimpin. Rakyat perlu tauladan. Naik angkutan bus atau sepur meskipun itu milik negara, rakyat mesti bayar. Kecuali ABRI.
Di jaman Orde Baru yang merupakan koreksi terhadap Orde Lama, Soeharto menerapkan demokrasi Pancasila dengan ABRI sebagai kaki tangannya. Pemimpin daerah wajib dari ABRI. Lalu media Koran harus punya SIUP. Partai politik cukup dua biji dan satu biji golongan karya. Semua partai wajib berazas pancasila.
Di jaman orba, orang macam Jokowi cukup mimpi jadi presiden. Artis dedy miswar, cukup jadi bintang film doang. Orang keturunan cina jangan harap jadi PNS dan anak PKI harus tahu diri, jangan berkoar-koar bangga jadi anak PKI, jika ketahuan, dipastikan hidup susah.
Kemudian reformasi datang dan menjungkir balikkan demokrasi terpimpin idenya Sukarno dan demokrasi pancasila rezim Suharto.
Penuh eforia rakyat campur baur bersama politisi sejati maupun politisi abal-abal menyambut reformasi. Para politisi abal-abal lalu bikin partai baru. 48 partai politik ikut pemilu pertama di jaman reformasi. Ternyata rakyat sudah cerdas, selusin partai dapat kursi di DPR, sisanya rontok. Hingga pemilu 2014, tinggal diikuti oleh 12 partai.
Tidak perlu surat keputusan pengadilan, akhirnya partai politik bubar dengan sendirinya.
Reformasi yang telah menelan korban jiwa dan biaya social tinggi, kini akan dikhianati. Gerombolan politisi busuk dengan pemahaman demokrasi primitifnya akan menghapus system pilkada langsung.
Padahal demokrasi yang sejatinya memilih pemimpin secara langsung, dapat menghidupkan ekonomi rakyat. Dari tukang sablon sampai percetakan dapat rejeki pemilu. Jikapun terdapat pihak yang kalah dan ngotot mau menang, para pengasong minuman bisa jualan ditengah demonstran. Jika pun para pendukung yang kalah bikin kekacauan, silakan diproses sesuai hokum.
Konsekuensi demokrasi adalah munculnya pihak yang kalah dan menang. Pihak yang menang sudah pasti senang. Sementara pihak yang kalah, akan sakit hati. Namun dapat legowo menerima kekalahannya. Karena mereka paham, demokrasi modern dibangun berdasar sendi-sendi peradaban dan consensus bersama.
Nah, jika mereka sudah membangun consensus demokrasi, namun mengingkarinya karena kalah, pantasnya mereka ini di buang ke laut saja. sebab mereka bukan politikus, tapi manusia primitive.
salam demokrasi