Mohon tunggu...
Prabu Siagian
Prabu Siagian Mohon Tunggu... -

Fearless

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memperbaiki Kualitas Pendidikan di Indonesia

2 Agustus 2011   08:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:09 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ilmu itu laksana cahaya. Ketika seseorang berilmu, maka ia mampu menerangi sekitarnya yang masih gelap wawasan. Dunia ini terus berkembang dan ilmu adalah kunci untuk mencerna perkembangan zaman ini. Itulah mengapa pendidikan selalu menjadi titik kebangkitan suatu bangsa. Itulah mengapa orang selalu mencari pendidikan. Knowledge is power.

Negara tetangga seperti Australia, Singapura, dan Malaysia telah menjadi destinasi favorit bagi pelajar dalam mengejar pendidikan. Negara-negara tersebut mempunyai kualitas pendidikan yang bermutu sehingga mereka bahkan dapat menarik pelajar dari luar negaranya. Bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia harus menetapkan target yang realistis. Sebelum bermimpi menjadi negara favorit dalam bidang pendidikan seperti ketiga negara di atas, Indonesia perlu terlebih dahulu memastikan bahwa pendidikan yang bermutu di Indonesia telah menyentuh semua kalangan. Tiga fokus utama dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia adalah infrastruktur, kurikulum, dan pengajar.

1. Infrastruktur

Hal yang paling mudah untuk dikritisi adalah infrastruktur sekolah. Sering sekali kita mendengar berita bahwa atap sekolah ambruk, bahkan ketika kegiatan belajar mengajar tengah berlangsung. Kerusakan tanpa terdeteksi mengurangi keamanan bagi pelajar dan pengajar, seperti bahaya yang mengancam tiba-tiba. Alasan umum adalah bangunan sekolah tersebut dibangun puluhan tahun lalu (kemungkinan besar saat sekolah Inpres gencar dibangun) namun tak pernah disentuh oleh perawatan. Perawatan tak pernah hadir karena anggaran untuk itu juga tak pernah ada. Masalah lain yang sering menyeruak adalah minimnya fasilitas bagi pelajar untuk melakukan praktikum. Fasilitas lainnya yang sering absen adalah fasilitas untuk bermain dan berolahraga. Ketiadaan sarana bermain membuat pelajar bermain di jalan-jalan (yang akhirnya berevolusi menjadi tawuran) dan sedikitnya sarana olahraga membuat pelajar mesti melakukan olahraga di tempat yang berbiaya, seperti menyewa lapangan futsal. Masalah ini penting karena pembinaan jasmani dan praktik di lapangan adalah teman dari pelajaran mental dan teori di kelas. Keseimbangan antara teori dan praktik adalah vital dalam pertumbuhan wawasan manusia.

2. Kurikulum

Materi yang diajarkan di sekolah selalu mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan. Di Indonesia, kurikulum sering berganti dengan alasan menyesuaikan tuntutan zaman dalam hal berpikir. Hal ini wajar, namun implementasi kurikulum baru juga harus memperhatikan tingkat kesiapan pelajar dan pengajar dalam mengadopsi kurikulum tersebut. Kurikulum yang mengutamakan peran aktif pelajar di kelas, misalkan, dapat diterapkan jika memang budaya aktif mencari tahu sudah tumbuh di pelajar itu sendiri. Jika belum, harus dilakukan adjustment secara bertahap di kegiatan belajar mengajar di kelas (dan kadang butuh waktu bertahun-tahun agar menyerap sebagai budaya) agar kemudian kurikulum tersebut dapat diterapkan secara nasional. Pengajar juga harus melakukan transisi, tidak hanya sekadar menjalankan. Contoh, mengikuti kurikulum baru, pengajar jarang datang dan hanya meminta siswa mencari bahasan tertentu. Jika pengajar tersebut juga tidak memberikan pengenalan awal tentang apa bahasan itu, pelajar pun juga tak akan punya sense tentang bahasan apa yang harus dicari. Pendidikan akan inefisien.

3. Pengajar

Sering pula kita mendengar tentang tetapnya gaji guru di tengah naiknya harga barang konsumsi. Gaji guru yang tetap akan menjadi disinsentif bagi orang untuk bermimpi menjadi guru. Mereka akan enggan untuk menjadi guru dan tentu berimplikasi pada kelangkaan tenaga pengajar di Indonesia masa depan. Gaji yang tetap (atau termakan arus inflasi jika kita bicara secara riil) juga akan mempengaruhi kinerja guru yang kini masih mengajar. Menurut ilmu ekonomi, gaji (atau upah) adalah ganti atas apa yang telah kita korbankan. Gaji yang kecil akan merangsang orang untuk mengeluarkan pengorbanan yang kecil pula, demi menyelaraskan apa yang dikorbankan dan apa yang didapat. Hal sensitif lainnya yang sering terlupakan adalah kurangnya pengajaran nilai-nilai universal di sekolah. Beberapa institusi pendidikan terkadang masih gemar mengelompokkan pelajar berdasarkan agama atau mengutamakan putra daerah atau semacamnya.

Prabu Siagian

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun