Jayapura (Tanah Papua Untuk Indonesia)Â - Banyak negara di era hari ini, menempatkan "national interest"sebagai "the first interest", sebagai contoh kebijakan luar negeri amerika yang mengedepankan "america first" dalam kepentingan diplomasi dagang dan ekonominya dengan berbagai negara di dunia.. Tidak ada bentuk kerjasama ekonomi dan perdagangan yang dihari ini dilakukan oleh negara - negara maju, tanpa mempertimbangkan "benefit" bagi kepentingan nasional negaranya..Â
Fakta juga membuktikan ketika "national interest" Inggris merasa terancam dengan sejumlah pengaturan bersama dalam negara Uni Eropa yang memberlakukan pasar tunggal yang di inisiasi sejak tahun 1993 dimana dalam perjalanannya justru dipandang menguntungkan ekonomi Jerman (yang notabene sebagai kompetitor Inggris di Eropa)..
Selain itu, masalah pengaturan penyelesaian krisis keuangan yang dialami oleh sejumlah negara anggota seperti krisis Yunani pada tahun 2008 ikut menekan kontribusi keuangan anggota Uni Eropa untuk membantu Yunani mengatasi krisis keuangan di negaranya. Alhasil hal ini ikut membebani "keuangan" inggris sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke 2 setelah jerman, yang harus memikirkan jalan keluar atas krisis keuangan yang dihadapi oleh Yunani dengan meningkatkan "rasio pendanaan" keanggotaan di Uni Eropa..Â
Merasa terancam dengan kepentingan nasional negaranya, Inggris kemudian memutuskan untuk memilih keluar dari keanggotaan Uni Eropa.. Selain alasan pengaturan pasar tunggal yang dipandang tidak terlalu menguntungkan Inggris, alasan lainnya yang membuat Brexit begitu mendesak bagi inggris adalah masalah kedaulatan negara, dimana Inggris memandang pengaturan Uni Eropa selama ini, justru hanya semakin banyak mendatangkan para pencari suaka ke dataran inggris dengan memanfaatkan aturan yang longgar dalam uni eropa tentang migrasi penduduk diantara sesama anggotanya..Â
Dalam hubungan antar negara, power sebuah negara sangat menentukan diplomasi perdagangan dan ekonomi suatu negara.. Kita tentunya, tidak ingin Indonesia kedepannya justru dipandang lemah oleh negara lain, dimana kehadiran "leadership" dalam sebuah negara, ikut menentukan "potition" sebuah negara dalam hubungan multilateral yang kompleks, terlepas apakah posisi negara tersebut kuat baik dalam perekonomian maupun kuat dalam angkatan militernya..
Dengan demikian, demi masa depan negara untuk melindungi "national interest" dalam mencapai tujuan Indonesia Merdeka yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa sejak 1945, maka penting bagi 270 juta penduduk Indonesia untuk memiliki "Kepala Negara" yang memiliki kualifikasi "leadership" yang kuat dimata pemimpin dunia..
Prabowo Subianto, memiliki keunggulan mutlak yang tidak perlu diragukan eksistensinya, sebagai pemimpin yang memiliki keunggulan dan kematangan dalam karir militernya.. Proses jatuh bangun membangun karir militer, dengan sumpah setia pada kepentingan "bela negara", kemudian melanjutkan pengabdian itu dalam kiprahnya sebagai pemimpin politik yang juga menghadapi banyak proses jatuh bangun, tentunya, akumulasi dari perjalanan panjang karir seorang Prabowo itulah yang menandakan dirinya pantas menjadi penerus pemerintahan Jokowi, yang mengutamakan stabilitas pembangunan nasional untuk keberlanjutan pembangunan yang telah di mulai para Pemimpin Nasional sebelumnya..
Negara ini akan terus berjalan ditempat, jika "memori pasionisme political historis" yang diwarnai dengan "rasa dendam" dan "amarah" di masa lalu, terus membayang-bayangi setiap peralihan kekuasaan.. Untungnya tokoh sehebat Prabowo dapat menurunkan egonya untuk berdamai dengan Presiden Jokowi pasca Pemilu 2019 silam, dan tetap menghadiahkan "kedamaian dan ketentraman" yang ikut dirasakan oleh kita semua, sekalipun kondisi geopolitik dunia dewasa ini, sedang berada pada keadaan "meningkatnya ketegangan regional", konflik sektarian/politik dalam negeri di berbagai negara, dan pemaksaan hegemoni negara kuat ke negara yang relatif lemah..Â
Tidak akan berguna hasil-hasil pembangunan yang dilakukan dalam sebuah negara, jika jaminan situasi keamanan dalam negeri justru tidak sanggup diberikan oleh Pemimpin Nasional berikutnya..Â
Presiden Jokowi yang berhasil menjaga stabilitas keamanan nasional selama 9 tahun memimpin Republik ini (2014-2023), tentunya tidak akan bermain-main mempercayakan suksesi agenda pembangunan yang telah "di inisiasinya" ke tangan pemimpin yang tidak memiliki independensi (tidak memiliki kemampuan komando yang kuat), sebagai nakhoda yang membawa kapal Indonesia berlayar dalam samudera "national interest" banyak negara kuat di dunia saat ini..Â