Mohon tunggu...
Atika Prabandari
Atika Prabandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

cita-citaku ngobrol sama nicholas saputra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sumbangsih Michel Foucault dalam Ilmu Sosial

30 November 2022   13:38 Diperbarui: 30 November 2022   13:47 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gb. 1, Michel Foucault, disadur dari laman pewartanusantara.com 

Tokoh yang bernama lengkap Paul Michel Foucault ini merupakan salah seorang filsuf ilmu sosial. Ia lahir di kota Poitiers, Perancis pada 15 Oktober 1926. Ia mengentaskan pendidikannya pada bidang filsafat di Lycee Henry-IV dan menerima tiga penghargaan lisensi dari Ecole Normale Superieure hingga 1952. Di tahun yang sama, Foucault memilih untuk bekerja di Facult des Lettres, Universitas di Lille. Sebelumnya, ia juga pernah bekerja sebagai salah satu perawat di rumah sakit jiwa. Selanjutnya di tahun 1959, Foucault menamatkan gelar doktoralnya dengan melahirkan sebuah karya berjudul Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason. Pemikiran dan karya-karya miliknya, selanjutnya banyak berfokus pada pembahasan mengenai kekuasaan dan meski pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Friedrich Willhelm Nietzsche, tetapi sebagai seorang filsuf ia menegaskan tidak ingin dikotak-kotakkan dalam aliran-aliran yang telah ada seperti Strukturalis, Hermenutik, Neo strukturalis, atau pengamat sejarah.

Dalam perspektifnya, Foucault berusaha mengungkap kekuasaan di luar sudut pandang yang telah ada sebelumnya seperti pandangan Freud yang memandang bahwa kekuasaan sebagai suatu hal yang represif, atau pandangan yang melihat kekuasaan layaknya pertarungan antara kekuatan yang satu dengan yang lain serta dimanipulasi oleh keadaan ekonomi seperti yang dikemukakan oleh Marx. Baginya, kekuasaan lebih luas dari pandangan-pandangan tersebut. Kekuasaan menyebar tanpa bisa dibatasi dan datang dari mana saja. Kekuasaan juga menjalar tanpa memandang kelas atau tingkatan usia, menurut Foucault, tua-muda, kaya-miskin, pemuka agama-jemaat, pemerintah-rakyat selalu memiliki kekuasaan. Namun, kekuasaan bekerja dalam relasi pengetahuan dan lembaga serta bersifat produktif.

Kekuasaan yang kini terpampang di mana-mana bersumber dari adanya perbedaan dan diskriminasi. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan setidaknya selalu berkait dengan politik, ekonomi, penyebaran pengetahuan, juga hubungan seksualitas. Dalam kaitannya dengan penyebaran pengetahuan, sebuah kekuasaan harus dapat melahirkan pengetahuan, melalui pengetahuan pula, kekuasaan dapat diselenggarakan. Kekuasaan juga dijalankan melalui proses membidik kepatuhan ditambah dengan pengawasan Misalnya, dalam relasi kuasa antara guru dan siswa, guru sebagai penyelenggara kekuasaan harus mampu menghasilkan pengetahuan atau setidaknya pemahaman mengapa siswa harus patuh terhadap apa yang akan diperintahkan guru kepadanya. Melalui pemahaman yang ditambah dengan proses pengawasan oleh guru tersebut juga relasi guru dan siswa dapat berjalan. Namun, meski berkaitan dengan pengetahuan, sebuah kekuasaan tidak selalu berkaitan dengan kebenaran. Menurut Foucault hal ini terjadi sebab kebenaran datang dari beragam perspektif sehingga tidak stabil dan cenderung cepat berubah.

Sebagai salah satu pengamat sejarah, Foucault juga mencermati arkeologi pengetahuan yang hingga kini dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam menganalisis sejarah. Pemikirannya ini dituang dalam karya yang ia beri judul The Archeology of Knowledge. Arkeologi pengetahuan digunakan Foucault untuk melihat fenomena formasi diskursif (wacana). Pendekatan ini melewati tiga tahap utama, yaitu positivitas, apriori historis, dan arsip. Pada tahap positivitas, yang harus dicermati ialah apakah terdapat komunikasi atau sinkronasi antara tokoh satu dengan tokoh di wilayah lain. Setelah melewati analisis tersebut, kemudian masuk pada tahap apriori historis, di mana yang dititikberatkan pada tahap ini ialah analisis fase sejarah. Kemudian dilanjut pada tahap terakhir, yakni arsip atau proses pembentukan dan transformasi beragam pernyataan yang telah terkumpul.

Adapun perbedaan antara arkeologi pengetahuan dengan sejarah pemikiran (pendekatan analisis sejarah terdahulu), yang pertama ialah sejarah pemikiran hanya berkonsentrasi pada penemuan pemikiran terbaru serta menitikberatkan pada esensi pemikiran daripada tingkat kedalaman pemikiran tersebut. Sementara, arkeologi pengetahuan menyingkap seluruh kontradiksi dan diskursus yang masih melekat dalam pemikiran-pemikiran serta tidak memilih antara esensi atau kedalaman pemikiran. Kemudian, sejarah pengetahuan juga lebih mengarahkan dua hal sebagai sebab-akibat. Sementara, arkeologi pengetahuan mencoba untuk mengomparasikan kedua hal tersebut tanpa mempengaruhkan satu sama lain. Terakhir, dalam sejarah pemikiran, jika hal general menemukan kesamaan. Maka akan langsung diputuskan bahwa hal tersebut adalah sama, berbeda dengan arkeologi pengetahuan yang lebih terbuka mengurai perbedaan-perbedaan yang masih mungkin melekat di antara keduanya.

sekian tulisan kali ini, mohon maaf jika masih terdapat kekeliruan berpikir, semoga bermanfaat dan sampai jumpa di tulisan selanjutnya! :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun