Semakin jauh dan berat perjalanan, Semakin dalam pensuciannya
(Aforisma Tibet)
Heinrich Harrer, laki-laki muda Austria pendaki gunung hebat itu, adalah salah satu profil terbaik untuk inspirasi Para Pencari Tuhan. Setelah melalui masalah keluarga yang rumit, dia pun akhirnya berangkat menuju Himalaya bersama sebuah tim ekspedisi sebagai Duta Jerman. Di stasiun kereta, diantara ramainya liputan wartawan, dia diantarkan oleh Inggrid -istrinya- yang sedang hami tua. Inggrid ditemani oleh sahabat keluarga: Immendorf.
Demi melihat istrinya yang hamil tua, Heinrich tidak juga luluh hatinya. Laki-laki bengal, egois dan keras kepala itu tidak menginginkan anak. Kehamilan Inggrid merupakan anti-tesis dari keinginannya. Dan puncaknya, dia memilih mendaki Nanga Parbat sebagai pelariannya. Satu hal lagi, Heinrich sangat memuja dirinya sebagai pendaki tangguh, pemegang medali emas pendakian dan telah menundukkan gunung-gunung berbahaya di Eropa. Dia seorang eksistensialis yang yakin akan dirinya bahkan hingga level yang sedikit berlebihan.
Ketika tim ekspedisi Himalaya itu masih berada dalam perjalanan pendakian, Jerman berperang dengan Inggris. Akibatnya, orang-orang Jerman yang berada di daerah kekuasaan Inggris ditahan. Begitu pula yang terjadi dengan Heinrich dan seluruh anggota timnya. Mereka dikurung disebuah kamp di India utara yang saat itu menjadi koloni Inggris. Dalam kesepian yang menggigit di penjara, Heinrich justru mendapat tambahan ujian yang lebih berat: istrinya mengirimkan surat perceraian, dia akan menikah dengan sahabat keluarga –Immendorf- serta menjanjikan anaknya akan menggunakan nama Immendorf. Artinya, Inggrid akan menghapus Heinrich dari benak anaknya. Membaca surat itu, hati Heinrich pun hancur. Disaat dia mulai menghargai betapa berharganya memiliki istri dan anak, justru disaat itu pula mereka berdua memaksa pergi, keluar dari kehidupan Heinrich.
Selama dipenjara, Heinrich berulang kali berusaha melarikan diri. Upaya melarikan diri yang keras kepala itulah yang membuat namanya menjadi popular di kamp. Setelah beberapa kali percobaan selalu gagal atau tertangkap kembali, akhirnya Heinrich bisa lolos saat melarikan diri bersama dengan teman-teman satu timnya dari Jerman. Namun, dasar laki-laki keras kepala dan egois, sesampainya di luar, dia memilih menempuh jalan sendiri. Kendati tanpa perlengkapan dan perbekalan yang cukup.
Singkat cerita, dalam kelaparan dan penderitaan yang menyakitkan, setelah berbulan-bulan memisahkan diri, Heinrich bertemu dengan Peter, ketua tim ekspedisi yang tidak disukainya. Heinrich menginginkan posisi yang dipegang Peter karena menurut penilaiannya dia yang lebih pantas, namun dia tidak mendapatkannya. Itulah sumber masalah mereka berdua. Dengan perasaan antara butuh dan tidak suka, akhirnya mereka melakukan perjalanan berdua, untuk melintasi Tibet menuju ke Cina. Peter dengan persiapan dan perbekalan yang cukup. Sementara Heinrich hanya memanggul sifat egois dan keras kepala di dalam ranselnya. Lebih dari setahun mereka menggelandang di pegunungan. Berjalan di bawah matahari musim panas dan membeku di musim dingin. Dirampok, hidup di pegunungan tanpa makanan, sakit keras hingga akhirnya memakan daging mentah yang diiris dari kuda tunggangan mereka.
Dengan segala kesulitan dan penderitaan, akhirnya mereka bisa masuk ke Lhasa: Ibukota Tibet, tempat tinggal Dalai Lama, pemimpin Tibet. Di Tibet, mereka berdua berkenalan dengan seorang tukang jahit cantik bernama Pema Lha Ki. Dan malangnya, mereka berdua “naksir” Pema. Persaingan pun terjadi. Hingga Pema akhirnya memilih Peter, laki-laki kurus yang tenang dan nampak matang. Harapan hati Heinrich yang sempat tumbuh setelah hancur ditinggalkan orang-orang yang dicintainya pun kembali hancur. Dalam kondisi tanpa orientasi, dia berniat ingin pulang ke Austria. Tapi apa lacur, disaat itulah dia menerima surat pribadi dari Rofl -anaknya- yang dengan sekali tusukan berhasil memporak-porandakan pertahanan hidupnya dengan sempurna: aku bukan anakmu, kata Rolf dalam suratnya. Kali ini, hati Heinrich hancur rubuh berkalang tanah.
Namun, justru pada saat dia berada di puncak putus asa itulah, datang sebuah surat dari Ibu Kun Dun, calon Dalai Lama ke XIV. Kun Dun meminta Heinrich datang ke istananya untuk bertemu dengan dirinya. Sebuah karunia yang luar biasa. Mereka –Heinrich dan Kun Dun- pun akhirnya berteman, bersahabat erat. Kun Dun, anak kecil itu, dimata Heinrich ternyata berubah menjadi seperti danau yang tenang dan penuh kebijaksanaan. Kun Dun adalah samudra kearifan yang bersembunyi di balik tubuh anak kecil.
Begitulah, seperti aforisma Tibet di atas. Jika Tuhan menghendaki memberikan kesadaran ruhani pada diri seseorang, maka Dia akan memerintahkan alam semesta untuk mempersiapkan orang itu dengan caranya. Maka, seseorang itu akan dihajar habis-habisan. Dia akan dipaksa untuk melakukan perjalanan yang berat dan menyakitkan, baik perjalanan fisik maupun perjalanan batin. Dibanting, diangkat, dilemparkan, dibuang, diasingkan dan dibiarkan kesepian. Bertahun-tahun ditempa. Berlarut-larut dimurnikan. Hingga cukup kuda-kuda fisik dan kuda-kuda batinnya untuk menerima energi ruhani. Energi ruhani itu sedemikian besar dan kuat. Sehingga, membutuhkan manusia yang kuat, baik secara fisik maupun batin untuk menerimanya.
Begitulah, seperti kisah Heinrich Harrer dan Peter dalam biografi Seven Years in Tibet. Peter, laki-laki kurus dan tenang itu akhirnya mendapatkan “hanya” Pema Lha Ki sebagai istrinya. Sementara, Heinrich Harrer yang dibanting, diangkat, dilemparkan, dibuang, diasingkan dan dibiarkan kesepian selama bertahun-tahun akhirnya mendapatkan Dalai Lama: lambang kebijaksanaan, kearifan dan kesadaran ruhani yang tinggi.