(Seri 1: Masjid Putra, Putrajaya)
Dalam beberapa perjalanan ke negeri tetangga, saya berusaha mengunjungi masjid-masjid di kota-kota yang saya singgahi. Tidak di semua kota memang, saya bisa mengunjungi masjid. Sebab, agenda yang terjadwal dan transportasi yang tidak bisa semau gue menjadi kendala. Tapi, dari sekian masjid di beberapa kota, saya mendapatkan pengalaman-pengalaman yang sungguh unik. Kadangkala membuat saya terkejut, tak mengerti atau bahkan bengong “beginikah”?
Masjid pertama yang saya ceritakan adalah masjid Putra, Putrajaya, Malaysia. Masjid ini juga menjadi masjid pertama yang saya kunjungi saat pertama kali saya ke luar negeri. Masjid Putra menjadi istimewa bukan hanya karena berada menjorok di tepi danau buatan yang luas dan dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang indah. Bukan pula karena karakter masjid yang mengagumkan, namun lebih karena alasan yang sangat pribadi.
Delapan tahun sebelumnya, ketika saya masih belajar di Jogja, saya terpesona dengan masjid Putra. Entah darimana saya mendapat lihat fotonya. Kemungkinan besar dari internet yang pada masa itu masih masa-masa awal “zaman dot com”. Pada pandangan pertama itulah saya jatuh hati. Saya bayangkan bahwa masjid Putra itu saudara kembar dari Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada. Kendati sebenarnya bentuknya jauh berbeda, luasnya apalagi. Tapi namanya juga perasaan, tidak bisa disangkal. Seperti ketika orang Jawa bingung menganggap dirinya sholat menghadap ke selatan padahal sejatinya dia sedang menghadap ke barat.
Suatu malam bulan purnama, saya bersama seorang teman sengaja pergi ke masjid UGM. Kami menunaikan sholat isya’ disana dan sengaja berlama-lama membenamkan diri dalam obrolan-obrolan tak berguna. Hingga masjid kosong. Kami berbaring di beranda depan, memilih tempat yang gelap dan saling bicara sampai jauh malam. Waktu itu, saya baru saja lulus. Teman saya demikian juga. Saya memimpikan bisa melanjutkan belajar di Universitas Islam Internasional, Kuala Lumpur. Dia memimpikan menemui Siti Nurhaliza. Dasar ngaco!
Saya tidak punya uang untuk berangkat. Dalam hal itu: dia sama. Lalu kami berandai-andai, tentu sekedar untuk menyenangkan diri sendiri, semacam kompensasi dari kekalahan demi kekalahan dalam dunia nyata. “Aku ingin bekerja di Kuala Lumpur dan sholat di Masjid Putrajaya,”kataku. Dia pun demikian, kendati pasti dia tidak punya impian ganjil sholat di masjid Putra.
Waktu berlalu dan beberapa tahun kemudian, disepotong siang yang membakar, aku melangkahkan kaki untuk masuk ke gerbang Masjid Putra. Siang itulah salah satu moment paling indah dalam hidup saya. Sebab menyadari, kalau “Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kita” dan suatu ketika akan mewujudkannya. Delapan tahun mimpi-mimpi itu saya pendam dalam kelamnya malam, pada akhirnya terwujud.
Masjid Putra dibangun di posisi yang sangat bagus, tepat berada di tubir danau Putrajaya yang luas keseluruhannya 650 hektar. Posisinya menjorok ke danau sehingga nampak menonjol dari kejauhan. Di sayap masjid, dibangun halaman terbuka yang membuat kita bisa bersentuhan langsung dengan danau dan melihat burung-burung gagak yang beterbangan di kebun-kebun yang hijau di tepi danau. Sembari mengagumi keindahan arsitektur dan lanskap Kantor Perdana Menteri Malaysia.
Danau Putrajaya sendiri dibangun di tengah-tengah Kota Putrajaya sebagai penyejuk alami kota, sarana rekreasi warga, olahraga dan transportasi air. Masjid Putra bersebelahan dengan kantor Perdana Menteri Malaysia. Keduanya berbagi halaman yang tidak begitu luas namun didesign dengan indah: Dataran Putra. Tepat di depan masjid Putra terbentang taman yang panjangnya ratusan meter hingga berbatasan dengan kompleks Istana Melawati, Istana Kenegaraan Malaysia.
Di samping Masjid Putra, tepat di tepi danau, terdapat medan selera, istilah di Malaysia untuk menyebut food court. Kita bisa menikmati makan dengan menu khas Melayu, India atau China sambil memandangi perahu wisata yang hilir mudik mengelilingi danau. Selain medan selera, di kompleks “under ground “ itu juga terdapat kios-kios souvenir dan tempat bermain anak-anak.