Senyum Dika sore itu, Jum'at (14/8) nampak sangat sumringah. Di tengah teman-teman sebayanya Dika seolah sudah bisa melupakan masa lalunya yang cukup kelam. Ya, sebelum menjadi santri di Rumah Tahfidz Azka Azkia, Bogor, Jawa Barat, Dika adalah seorang pengamen sekaligus kernet di bilangan Bekasi selama bertahun-tahun.
Ia adalah seorang yatim-piatu. Tak diketahui identitas maupun keberadaan orang tua kandungnya hingga saat ini. Ia hanya hidup berdua dengan ayah angkatnya.
Dika (7) menjadi kernet di salah satu angkutan umum Kota Bekasi bukan karena keinginannya. Namun, karena paksaan dari ayah angkatnya yang tak lain merupakan sopir angkutan umum tersebut. Ia pun tak dapat menolak apalagi melawan saat dipaksa untuk bekerja sebagai kernet di mobil ayah angkatnya itu.
Begitupula dengan aktivitasnya sebagai pengamen. Sembari berperan sebagai kernet, Dika juga menjadi pengamen di angkutan umum tersebut. Ia terpaksa bernyanyi untuk menghibur penumpang ayahnya. Ketika mengamen, Dika membawa alat musik yang ia sebut 'kecrek'. Suara khasnya mengiringi lagu yang ia dendangkan.
Jika ada penumpang yang ingin turun, seketika Dika berperan menjadi kernet. Namun, jika mobil sedang melaju, ia adalah pengamen. Tak jarang Dika juga mengamen di mobil-mobil lain yang lebih berpotensi mendapatkan uang. Tidak lain karena suruhan ayahnya.
Ya, sebagaimana pengamen pada umumnya, Dika pun menerima upah dari para penumpang. Uang itu ia kumpulkan. Namun bukan untuk dirinya, melainkan disetorkan kepada ayahnya.
Dika mengaku tak malu setiap kali mengamen di depan orang banyak. "Kalau malu diomelin sama ayah, disuruh ganti mobil," ucapnya lugu.
Ia juga tak malu jika bertemu dengan teman-temannya. Tentu saja karena Dika hanya mengenal ayahnya, sopir angkutan umum, kernet dan beberapa pengamen serta ibu penjaga warung saja. Dika tak memiliki teman sekolah. Bagaimana bisa memiliki teman sekolah sedangkan ia sendiri tak sekolah?
Ketika malam tiba, ia singgah dan beristirahat di Stasiun Babelan, Bekasi, bersama ayahnya tersebut. Bukan kasur, bantal dan selimut, ia sebut tempat tidurnya itu adalah kardus bekas. Jika kedinginan, ia melipat kardus tersebut untuk sedikit menutupi kakinya.
Dika tak segan ketika menceritakan masa lalunya. Anak sekecil Dika bisa saja tak menganggap kisahnya merupakan hal pelik. Terlebih saat ini ia sudah berkumpul bersama para santri di rumah tahfidz. Seolah-olah ia sudah menemukan sosok orang tua pada diri Bunda Suryani, pengasuh Rumah Tahfidz Azka Azkia. Serta sudah menganggap santri-santri lainnya sebagai saudaranya sendiri.