Penulis: Alice Pricillya | Sun Yat-Sen University
Bidang PBNK PPI Tiongkok kembali menghadirkan webinar besar, kali ini dengan tema Future Investors yang merupakan sebuah platform bagi anak-anak muda untuk tetap stay up-to-date dengan tren industri berinvestasi. Untuk sesi-sesi di hari ke dua ini, Future Investors mengundang 4 pembicara yang handal dalam bidangnya masing-masing, yaitu Lukas Bong selaku Presiden DPP (Dewan Pengurus Pusat) AREBI (Asosiasi Real Estate Broker Indonesia), James Wiryadi sebagai Co-Founder dan CEOÂ CrowdDana, Fellexandro Ruby yang merupakan Founder Negeri Pembelajar dan Co-Founder Thirty Days of Lunch podcast, serta Vincentius Prasetyo selaku Managing Partner Salt Ventures.
Sebelum masuk ke sesi utama, Bapak Yaya Sutarya selaku Atase Pendidikan di KBRI menjelaskan terlebih dahulu bagaimana mahasiswa-mahasiswa Tiongkok banyak yang bersekolah di luar negeri, lalu kembali ke negara asal untuk membantu pemerintah mengembangkan negara mereka. Beliau berharap agar pemuda-pemudi Indonesia baik yang bersekolah atau bekerja di luar negeri pun bisa suatu saat nanti kembali ke tanah air, membawa masuk investor-investor asing dan ilmu yang telah dipelajari di China, terutama yang terkait bidang teknologi, serta memanfaatkan peluang-peluang di bidang tersebut untuk membuka lapangan kerja baru bagi penduduk Indonesia. Beliau berpesan bahwa untuk menjadi wirausahawan atau investor yang sukses, wajib memiliki jiwa penjelajah, selalu mengejar kepuasan melalui penemuan atau keberhasilan baru, tidak kenal kata "kapok", berani mengambil risiko, serta harus kreatif dan ambisius.Â
Sesi pertama dimulai dengan pemaparan materi oleh Bapak Lukas Bong. Beliau mengatakan bahwa investasi properti merupakan pilihan banyak orang properti adalah kebutuhan pokok yang wajib dimiliki semua. Risiko investasi properti rendah karena bangunan yang dibeli bisa digunakan sebagai tempat tinggal ataupun disewakan, belum lagi bisa dijual secara langsung dan cepat jika lagi memerlukan uang.
Scarcity juga membawa daya tarik dan nilai tinggi pada lahan dan properti. Sebagai anak muda yang masih berkuliah atau baru memasuki lapangan kerja, beliau meyankinkan bahwa kita juga bisa ikut berinvestasi pada properti dengan mengurangi pengeluaran travelling, entertainment, serta mempertimbangkan pinjaman KPR.
Semakin ditunda, harga properti akan semakin naik, properti dengan akses lokasi dan fasilitas yang bagus juga akan semakin berkurang. Presiden DPP AREBI ini juga mengusulkan untuk membayar DP properti terlebih dahulu untuk mengunci harga beli. Selanjutnya, James Wiryadi menjelaskan bahwa keuntungan berinvestasi dalam real estate didapatkan dari dividen dan capital gain (yakni keuntungan dari harga sewa dan jual) dengan risiko sedang. Namun, karena modal awal investasi sangat besar, maka muncul ide untuk membangun aplikasi crowdfunding CrowdDana, dimana sebuah properti dijadikan sebagai PT dan investor bisa membayar hanya beberapa persen dari harga bangunan untuk mendapatkan saham.
Pencetus aplikasi crowdfunding ini juga setuju bahwa lokasi merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan sebelum investasi karena jikapun bubble burst melanda suatu saat, properti di lokasi baik pasti akan tetap memiliki harga. Ia juga menyarankan untuk berinvestasi ke bangunan yang bisa menghasilkan cash flow dari kegiatan sewa-menyewa.
Jika dua sesi sebelumnya terkesan lebih berat dan belum bisa langsung diterapkan oleh semua, maka pada sesi ke tiga Fellexandro Ruby membicarakan tentang topik yang lebih ringan namun tidak kalah bermanfaat, yaitu mengenai financial planning skills.
Sebelum berinvestasi, mahasiswa-mahasiswi boleh mulai mengumpulkan dana terlebih dahulu, dengan cara menjadi mentor, translator ataupun menjual foto jika sedang bersekolah di luar negeri. Ia juga menasihati partisipan agar memperkaya diri, atau dengan kata lain, berinvestasi pada diri sendiri, dengan menambah pengetahuan dan skills selagi ada waktu, agar saat telah mendapatkan dana di kemudian hari, tidak perlu lagi membuang-buang waktu dengan bingung memikirkan apa yang mau dilakukan. Prinsip yang dipegang oleh co-founder Thirty Days of Lunch podcast dalam hal menyusun pengeluaran adalah: "Apapun yang tidak bisa kamu beli dengan uang tunai hari ini, jangan dibeli." Daripada bingung tentang membeli rumah dan mobil, ia juga menyarankan agar anak-anak muda fokus dalam mengeksplorasi dunia dan diri karena waktu dan musim kehidupan tidak akan bisa diulangi kembali.
Bagi sebagian orang, adanya aset berwujud bisa menjadi alasan dan pengekang untuk tinggal di satu tempat saja. Vincentius Prasetyo lalu menutup sesi hari ke dua dengan membagikan ilmu praktikal untuk menganalisa saham. Untuk pemula, ia memberikan sugesti untuk membeli saham first liner dari perusahan-perusahaan yang terdaftar di indeks LQ45 karena likuiditasnya yang tinggi.
Jika ingin membeli saham second liner, maka yang harus dilakukan adalah untuk mengevaluasi rasio return-on-equity, P/E ratio, serta price book value perusahaan saham agar bisa mengantisipasi keuntungan maupun kerugian, dan juga untuk mengatur perencanaan investasi berdasarkan budget dan target. Terkait return-on-equity, lebih baik mencari yang angkanya konsisten dan 15% ke atas. P/E ratio digunakan untuk menghitung yield yang akan dihasilkan dengan rumus 1 dibagi angka P/E ratio. Ia juga mengajarkan cara menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan nilai investasi menggunakan rule of 72, yaitu 72 dibagi dengan suku bunga per periode, dalam bentuk persen.