Mohon tunggu...
Pphbi Indonesia
Pphbi Indonesia Mohon Tunggu... -

Pusat Pelatihan Hukum dan Bisnis Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pungutan dalam Otoritas Jasa : Latar Belakang dan Implikasinya

13 Juni 2014   17:31 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Krisis ekonomi yang terjadi hampir dua dasawarsa lalu, memberikan efek domino diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang tersebut, mengamanahkan dibentuknya pengawasan pada sektor jasa keuangan yang dibentuk selambat-lambatnya tanggal 1 Desember 2010. Hal tersebut secara aktif diemban oleh berbagai pihak untuk benar-benar direalisasikan menjadi sebuah lembaga superbody.
Namun disayangkan, saat lembaga tersebut ingin difinalisasi pada waktu yang diamanahkan oleh Undang-Undang Bank Indonesia, ternyata terjadi deadlock di pemerintah. Dasar perdebatan tersebut mengerucut pada independensi dari Otoritas Jasa Keuangan. Terutama, terkait dua dari Sembilan komisioner yang ada diharuskan dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, akhirnya selesai diundangkan pada tahun 2011. Sebagai suatu lembaga superbodi, maka dibutuhkan adanya dukungan pembiayaan. Awalnya, OJK dibiayai oleh anggaran dari Pemerintah. Namun, per 15 Juni 2015 melalui PP nomor 11 tahun 2014, dikenakan biaya pendapatan dari industri-industri yang dianggap melakukan kegiatan usaha dalam lembaga-lembaga yang diawasi oleh OJK.
Inilah dasar dari pengenaan pungutan oleh OJK. Atas segala pro kontra, menurut penjelasan dari Otoritas Jasa Keuangan pada Seminar Sehari “Sosialisasi Sistem Informasi Penerimaan OJK untuk profesi Penunjang Pasar Modal khususnya Notaris dan Sistem Pelaporan Elektronik Emiten dan Perusahaan Publik”, dasar pengenaan tersebut adalah demi meningkatkan fungsi trias politica yang terkandung dalam OJK. Baik pengawasan, regulator maupun pengenaan hukuman. Intinya, pengenaan tersebut dari industri untuk industri. Bahkan jika anggaran tidak terpakai sepenuhnya, maka dapat dikenakan pengurangan pungutan di tahun berikutnya.
Kontranya, bagi pengemban profesi penunjang seperti notaris, konsultan hukum pasar modal dan kantor akuntan publik, merasa bahwa profesi tersebut adalah “pendukung” bukan “pelaksana kegiatan” seperti yang dinyatakan dalam definisi pada Pasal 1 Peraturan OJK Nomor 3 tahun 2014. Notaris sebagai pejabat negara dan advokat sebagai penegak hukum merasa bahwa pungutan tersebut tidak efektif tidak sesuai dengan nurani kode etik profesi masing-masing profesi.
Banyak pihak yang pengkaitkan definisi “pihak” dengan profesi yang diemban oleh notaris sebagai pejabat negara. Namun sadar tidak sadar, hal tersebut telah digariskan oleh pemerintah melalui pengaturan UU Pasar Modal pada tahun 1995. Saat itu, Bapepam meragukan apakah para profesi penunjang merupakan bagian dari pihak? Nah, itulah yang ditegaskan pemerintah saat itu. Sehingga suka tidak suka, para pengemban profesi secara yuridis tunduk sebagai pihak dalam pasar modal yang dikenakan pungutan OJK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun