Mohon tunggu...
pagan pambudi
pagan pambudi Mohon Tunggu... -

Neurologist and Pharmacologist, seorang dokter yang peduli soal Pendidikan dokter, ilmu penyakit saraf dan farmakologi, politik, keindonesiaan dan teknologi informasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"Brainwash", Terobosan atau Kecerobohan Medis?

22 Februari 2013   09:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:53 7971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Kisah Dahlan Iskan yang menjalani brainwash di RSPAD yang katanya sukses telah membuat masyarakat semakin ingin tahu dan ingin mencoba "brainwash" ala dokter T, maklum beliau adalah wartawan handal yang piawai menulis dengan gaya yang renyah dan menarik hati. Namun perlu digaris bawahi beliau adalah menteri dan manager yang hebat namun soal pengetahuan tentang prosedur medis perlu kami memberi masukan agar pak DI dan juga masyarakat mendapatkan informasi berimbang, obyektif dan ilmiah tentang "brainwash" atau disingkat BW ini

Dalam berbagai kisah BW di media selalu disebutkan bahwa metoda ini yang pertama di dunia, dan baru dr. T yang bisa melakukan.  Sebagai  sejawat saya berbaik sangka bahwa bukan beliau yang menyatakan demikian tetapi sang penulis artikel yang terlalu hiperbola, sebab bila benar dr T yang mengklaim, sungguh melanggar etik kedokteran dengan membanggakan diri lewat media. Kembali saya berbaik sangka bahwa metoda dan obat itu benar dr T yang temukan, ada satu hal yang sangat prinsip dalam dunia kedokteran yang dilanggar yaitu KEHATI-HATIAN.

Pak DI dan kebanyakan pembaca awam mungkin tidak tahu bahwa dunia kedokteran sangat mengutamakan SAFETY, setiap obat baru yang ditujukan untuk pengobatan pada manusia, harus melalui uji klinik yang sangat ketat, dimulai uji laboratorium pada hewan, uji klinik fase 0 dan 1 pada manusia sehat dalam jumlah kecil, uji klinik fase 2 pada individu sakit dalam jumlah terbatas dan uji fase 3 yang melibatkan ratusan individu sakit bahkan seringkali dilakukan multisenter diberbagai negara agar  didapatkan gambaran yang menyeluruh tentang keamanan dan efektifitas obat tersebut. Barulah bila terbukti aman dan efektif obat tersebut boleh digunakan dan dipasarkan secara luas termasuk dipromosikan lewat media. Proses ini memerlukan waktu setidaknya 10 tahun dengan biaya jutaan dolar.

Ketentuan ini adalah  aturan baku yang dilaksanakan oleh Badan pengawasan obat dan makanan di Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Indonesia sendiri (BPOM telah menerbitkan "Good Clinical Practice " versi Indonesia).  Dokter T sebagai dokter yang hebat tentu tahu aturan ini tetapi entah mengapa tidak mengindahkannya. Pengabaian terhadap protokol Safety ini memakan korban pada era 60-an Thalidomite sudah digunakan sebagai obat anti muntah pada ibu hamil tanpa melalui uji klinik yang lengkap, hasilnya ribuan anak lahir tanpa kaki dan lengan, semoga hal demikian tidak terjadi dalam hal BW ini.

Pak DI tidak boleh menyamakan tindakan dan obat medis dengan Tucuxi yang sudah dicoba di jalan umum sebelum lolos berbagai uji keamanan dan kita semua tahu hasilnya "braaaaak" untung beliau selamat (perlu diketahui semua pabrik mobil melakukan berbagai tes termasuk uji tabrakan untuk memastikan produknya aman). industri Farmasi dan Kedokteran menerapkan uji keamanan  jauh lebih ketat daripada industri otomotif.

Saya masih berbaik sangka mungkin dokter T sudah mengujinya pada hewan dan sukses sehingga saat ini beliau sedang berada di uji klinik pada manusia fase 1, 2 atau bahkan sudah di fase 3 (saya sangat bangga bila benar, sayangnya kok tidak) bila memang masih dalam penelitian maka semua pasien yang di BW tidak boleh dikenakan biaya, bahkan dokter T juga harus membayar asuransi untuk pasien bila terjadi komplikasi dari BWnya, pada kenyataannya pasien harus bayar yang menurut DI tidak sampai 100 juta rupiah, jelas bahwa dr T tidak berada dalam fase penelitian tapi sudah pada fase komersialisasi tanpa uji klinik yang lengkap, ini sudah termasuk pelanggaran dalam dunia kedokteran dan Farmasi.

BW yang dilakukan sejawat dr T sesungguhnya sudah dikerjakan juga oleh banyak ahli radiologi intervensi dan neurologi intervensi yang bahkan mungkin lebih terampil dii Indonesia, hanya mereka tidak menamakannya sebagai BW, mereka menyebutnya sebagai DSA (Digital Subtraction Angiography) suatu prosedur diagnostik untuk melihat kondisi pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak. Tujuannya diagnostik bukan terapi atau bahkan prevensi stroke.

Para dokter ini menahan diri untuk tidak berpromosi karena memang belum ada data yang cukup untuk mendukung bahwa prosedur ini bisa untuk pengobatan dan pencegahan stroke. Para dokter ini memegang prinsip KEHATI-HATIAN. Perlu pembaca ketahui bahwa hingga saat ini tidak ada satupun guideline dari organisasi profesi neurologi dan radiologi internasional yang merekomendasikan DSA sebagai metoda pencegahan stroke.

Kami memahami bahwa bangsa yang tengah terpuruk ini haus akan segala sesuatu yang bisa menegakkan kepala, bila benar prosedur BW dr T adalah pertama di dunia dan sukses besar, tulislah di jurnal internasional ternama bukan di koran atau majalah lokal dan jangan lupa dalam jurnal tersebut disebutkan "Saya namakan prosedur itu Brain Wash dapat mencegah dan menyembuhkan stroke" kami tunggu jurnal tersebut terbit kalau memang dr T berani mempublikasikannya secara ilmiah bukan testimoni ala klinik TCM, saya akan angkat topi bila anda melakukannya (tapi saya sangat ragu dr T berani  publikasi ilmiah dgn jujur ). Jangan lagi bangsa ini jadi lelucon internasional karena tokoh pemerintahannya terburu-buru heboh tanpa meneliti terlebih dahulu (ingat kasus banyu geni, pupuk ajaib dan harta karun istana bogor)

Untuk pak DI sedikit kritik, bapak sering lupa bahwa anda saat ini adalah penyelenggara negara bukan bos Jawa Pos, dalam bergerak dan bertindak harus melihat aturan yang berlaku termasuk soal aturan SAFETY dalam bidang medis, cukuplah ngawur soal plat nomor Tucuxi yang palsu, jangan ngawur lagi dengan mempromosikan prosedur medis yang Kementrian kesehatan dan organisasi profesi kedokteran Indonesia (IDI) belum menerimanya bahkan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) menentangnya, itu namanya tidak menghormati wilayah orang lain. Promosi anda  bisa membahayakan rakyat bila dikemudian hari terbukti ada yg salah dengan BW ala dr T, minimal pak DI membahayakan kantong rakyat, 100 juta rupiah bagi pak DI seperti uang receh, bagi rakyat itu bisa berarti seluruh harta benda yg dipertaruhkan  untuk metoda pengobatan yang tidak jelas manfaat dan keamanannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun