Tour de France, lomba balap sepeda paling heboh sejagat, selesai dengan seorang pebalap kelahiran Kenya jadi Juara Umum. Dan posisi kedua adalah seorang lelaki Colombia. Keduanya bukan pebalap Eropa.
Posisi Chris Froome dan Nairo Quintana di Klasemen Umum lomba balap sepeda bisa jadi adalah sebuah pertanda. Apakah dominasi pebalap-pebalap Eropa mulai pudar? Sepanjang lomba selama 23 hari, prestasi Vincenzo Nibali dan Alberto Contador naik turun. Beberapa fans malah percaya, TdF2015 ini adalah prestasi terburuk Contador.
Tapi Nibali masih punya motivasi kuat untuk perkecil gap waktu dengan Chris Froome. Lihat aksinya di etape 19. Opini bahwa Nibali seperti kehilangan motivasi tak terbukti. Di etape 20 dari Modane ke Alp d’Huez, dia selalu lakukan ATTACK yang buat poloton kacau. Sebuah taktik yang menarik. Sayangnya Nibali tak didukung satupun pebalap Astana. Jakob Fuglsang yang tertinggal jauh benar-benar membuat Nibali harul bersolo karir.
Menjelang finish di Alp d’Huez, MOV dan SKY punya pebalap kuat nanjak untuk bantu para pebalap ACE supaya finish tercepat. Quintana malah dibantu Valverde dan Winner Annacona. Karena ditemani kedua orang itulah, Quintana bisa perkecil gap waktu dengan Froome.
Lalu terjadilah kejar mengejar antara Thibaut Pinot dan Nairo Quintana. Quintana nanjak sekuat mungkin dengan tujuan merebut Pimpinan Klasemen Umum dari Froome, sementara Pinot tak mau menyerah.
Para Sprinter juga mendapat atensi yang cukup. Kukira berlebihan juga ada. Misalnya Peter Sagan. Bocah tengil itu kayaknya jadi banyak gaya sesudah aneka polah tingkahnya diliput media dan para fans menyukainya. Kuakui prestasinya jadi juara di 3 etape memang patut diberi atensi, malah pujian. Juga dengan posisi nomor 1 di Point Classifications. TAPI HARUS DIINGAT, DI PARIS PETER SAGAN FINISH KE 7 DIBELAKANG MARK CAVENDISH. Sagan belumlah cocix untuk jadi yang tercepat di Paris, apalagi bisa melewati Mark Cavendish.
Sekarang akan kubahas tentang resistensi pebalap-pebalap tuan rumah. Bernard Hinault jadi Pimpinan Klasemen Umum di tahun 1985. Sejak itu, sampai TdF2015, tak satupun pebalap Prancis yang sukses mengulang prestasi Bernard Hinault. Tapi asa bangsa Prancis tidak pernah surut apalagi padam. Tahun 2015 ini ada Jean Christophe Peraud, Thibaut Pinot, Romain Bardet dan Nacer Bouhanni, Warren Barguil dan Arnaud Demare.
Gelar KOM sukses dikuasa Romain Bardet. Tapi kemenangan Thibaut Pinot di Alp d’Huez menunjukkan terjadinya resistensi di benak para pebalap Prancis. Tahun ini kampanye TdF dimenangkan dengan cara kuasai podium di beberapa etape. Mungkin revolusinya terjadi beberapa tahun lagi. Ketika pebalap Prancis jadi Pimpinan Klasemen Umum hingga ke Paris.
Dari AfrikaTimur sebuah tim datang dan menang. Namanya MTN Qhubeka. Daniel Teklehaimanout pernah memimpin klasemen KOM dan Steve Cummings malah jadi juara etape 14. Pebalap-pebalap muda dari Kenya dan Ethiopia dikontrak dan berprestasi di tim itu. Daniel Teklehaimanout ada di nomor 49, sementara Merhawi Kudus ada di nomor 84 pada Klasemen Umum. Rupanya kampanye UCI mulai menampakkan hasil. Dalam jangka waktu 10 tahun, para pebalap Ethiopia dan Kenya akan mulai meramaikan balap sepeda. Seperti yang selama ini mereka lakukan di lomba marathon.
TdF2015 adalah TdF yang ke 102. Tahun ini para juaranya tak hanya dari benua Eropa. Afrika dan Amerika Selatan mulai menguasai lomba. Tahun ini jalur lomba yang dipilih juga beragam. Jalan raya dalam kota, tepi pantai, jalan raya diatas bendungan dan cobbled stones. Para pebalap juga punya kosakata baru. Angin yang bertiup kencang adalah tanjakan yang berat.
2 penguasa Maillot Jaune harus undur diri karena cedera akibat kecelakaan. Disitulah Le Tour dihujat banyak fans. Apalagi ketika terjadi Massif Jumpalitan. Jalurnya sempit, pebalap saling bertindihan, diatas cobbled stones pula. Tim medik sudah maksimal kerjanya. Mereka memeriksa tiap pebalap sehingga Le Tour harus mencanangkan Neutralization Zone.