Mohon tunggu...
Liza Wijaya
Liza Wijaya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perjalanan Panjang Pengobatan Tuberkulosis

1 April 2019   16:35 Diperbarui: 5 April 2019   12:38 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Robert Koch | metanetworks.org

Namun sayangnya, tahun 1942 pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, aktivitas pemberantasan TB sebagian besar terhenti dan yang dilakukan hanyalah usaha meyembuhkan pasien yang telah positif sedangkan usaha pencegahan agar tidak terjadi penularan tidak dilakukan karena keadaan yang tidak mengijinkan.

Setalah Indonesia merdeka dengan bantuan UNICEF dan WHO didirikan Pilot Project di Bandung tahun 1952 di mana pada saat itu pengobatan menggunakan OAT serta penyuluhan mulai dilakukan di balai-balai pemberantasan penyakit tuberkulosis. Pada tahun 1950, vaksin BCG mulai mendapatkan lisensi untuk di jual dan diberikan kepada masyarakat. Dengan cepat pengobatan ini meluas keseluruh dunia termasuk indonesia yang memulai program vaksin BCG pada tahun 1956.

Keuntungan utama OAT adalah kemampuan untuk menghindari rawat inap yang berkepanjangan dan tidak memakan biaya perawatan yang lama akibatnya banyak sanatorium yang tidak digunakan, sebagian dirubah menjadi RS paru-paru ada juga RS umum dan sebagian lainnya benar-benar ditutup. 

Sayangnya, dunia harus dihadapkan dengan krisis resistensi antibiotik atau disebut Multidrug Resisten (TB-MDR) dimana seorang pasien TB sudah tidak mempan dengan pemberian OAT, hal ini juga diperparah dengan munculnya penyakit HIV-AIDS yang meningkatkan jumlah angka penderita TB di dunia sehingga WHO pada tahun 1993 mengumumkan GLOBAL EMERGENCY terhadap penyakit TB.

Pada tahun 1994, WHO mulai menggalakkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) atau dapat diartikan pengawasan langsung melenan obat jangka pendek. Dimana setiap penderita TB harus memiliki satu Pengawas Menelan Obat (PMO) yang bertugas untuk memantau dan mengawasi. Tujuan dari PMO ini adalah tercapainya angka kesembuhan yang tinggi, pencegahan putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan terjadinya resistensi obat.

Hasil evaluasi tahun 1998, angka keberhasilan di Indonesia mencapai 89 % dan penemuan penderita baru mencapai 9,8 %. Walaupun menunjukkan peningkatan, tuberkulosis masih menjadi permasalahan dinegara berkembang, bahkan di negara maju akibat meningtaknya angka penderita HIV-AIDS. Strategi DOTS terbukti efektif akan menjamin kesembuhan, mencegah penularan, dan biaya relatif rendah. Namun harus dipikirkan lagi mengenai efek samping yang mungkin akan dihadapi selama pengobatan.

Mungkin kita harus memikirkan lagi untuk menghidupkan kembali pengobatan di sanatorium pada abad ke-19 sebagai pengobatan pendamping untuk mempercepat proses penyembuhan dengan memanfaatkan terapi sinar matahari, diet tinggi vitamin D serta pola hidup sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun