Penulis : Liza Novitasari Wijaya & Fitri Arofiati, Ph.DÂ
(Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Penyakit Tuberkulosis masih menjadi penyakit yang menjamur di Indonesia. Bahkan menurut laporan WHO tahun 2016 Indonesia menduduki posisi ke tiga jumlah Tuberkulosis terbanyak setelah India dan Cina. Hal ini menjadikan strategi pengendalian penyakit TB mendapatkan perhatian khusus.
Penyakit TB diperkirakan sudah ada sejak 5000 tahun sebelum masehi, namun kemajuan dan penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir. Penyakit TB awalnya dianggap sebagai penyakit keturunan dan mendapatkan stigma buruk dari orang -- orang. Namun pada tahun 1882 Robert Koch yaitu seorang ilmuan berkebangsaan Jerman berhasil mengidentifikasi Mycobacterium Tuberculosis sebagai bakteri yang menyebabkan penyakit Tuberkulosis.
Jauh sebelum ditemukannya antibiotik, pengobatan TB menjadi sesuatu yang mengerikan, Para Dokter pada abad ke-18 menggunakan metode pneumotoraks yaitu pembedahan yang bertujuan untuk mengempiskan sebagian paru-paru agar sembuh serta memotong dua sampai tiga tulang rusuk sehingga paru-paru akan memiliki ruang gerak yang lebih luas dan dipercaya dapat menyembuhkan pasien, namun sayangnya hal ini memberikan dampak buruk, banyak pasien yang mengalami kecacatan, komplikasi hingga akhirnya meninggal.
Pengobatan TB mendapatkan sedikit titik terang dengan pengobatan sinar matahari yang dipopulekan oleh Dr. Danish Niels Finsen pada tahun 1900an, banyak pasien TB yang di tampung di Sanatorium untuk penyembuhan. Di Indonesia upaya pemberantasan penyakit TB paru telah dimulai pada tahun 1908 pada jaman pemerintahan Belanda. Usahanya terbatas pada pengasingan penderita dalam sanatorium dengan istirahat dan nutrisi sehat.
Sanatorium adalah fasilitas medis yang digunakan untuk mengobati penyakt jangka panjang terutama pasien tuberkulosis. Prinsip utama perawatan di sanatorium adalah kombinasi makanan yang kaya lemak, biji-bijian, sayuran, dan susu, lingkungan bersih dan segar, istirahat yang cukup serta ditambah olahraga yang direncanakan. Sekilas Sanatorium mirip dengan Rumah Sakit Khusus saat ini.
Pada tahun 1940an pengobatan TB mulai beralih dengan ditemukannya vitamin D. Vitamin D terbukti dapat menyembuhkan infeksi, namun sayangnya para dokter pada zaman tersebut belum menemukan dosis yang pas untuk tubuh sehingga tidak jarang pasien tuberkulosis yang mengalami keracunan akibat kelebihan dosis vitamin D. Hingga tahun 1947 obat anti tuberkulosis (OAT) Â pertama ditemukan oleh Dr. Selman Waksman, hal ini menggeser semua pengobatan TB yang pernah digunakan.
Fakta yang mengejutkan adalah, banyak penelitian saat ini yang mengungkapkan bahwa para penderita tuberkulosis memiliki kadar vitamin D yang kurang dalam tubuhnya. Itu sebabnya para penderita TB banyak terjadi pada masyarakat yang memiliki lingkungan dengan sanitasi yang buruk, lembab serta pola konsumsi yang kurang sehat.Â