"Turun Bung?"Tanya ajudan.
"Ya,lah. Kita mainkan dulu itu proyek-proyek yang baru disetujui 'MoU'-nya. Kita minta bagianlah. Lagian ini mau hari raya."Kata si Bung Blusut.
"Tapi Bung. Proyek-proyek itu dikawal 'superbody', ada penyadapan sana-sini."Kata si ajudan cemas.
"Ah, itu kalau kita kongkalikongnya sebelum teken kontrak, kalau sudah teken kontrak itu namanya 'success fee'. Bisa dimainkan itu. Tenang sajalah kau."Bung Blusut dan sang Ajudan bernama Ajudin 'nyelonong' ke kantor pejabat terkait dan berbisik sana-sini.
Sejam kemudian Bung Blusut mendatangi Perusahaan rekanan proyek tersebut dan juga bisik sana-sini, lalu si pengusaha mengeluarkan kertas cek dan menuliskan nominal tertentu.
"Nah, Ajudin. Daripada kita blusukan tidak jelas ke kampung-kampung mendingan kita 'blusutan' beginian ke rekanan-rekanan. Lebih jelas angkanya, hehehe. Ini 500 ribu, uang dengar, aku baru dapat cek 10 milyar, hehehehe."Bung Blusut tertawa terbahak-bahak.
Ajudin juga tertawa, namun tertawa dipaksa, uangnya dia terima dan dua hari kemudian Ajudin tidak masuk lagi kerja, dicari ke alamat rumahnya pun dia tidak ada. Si Ajudan seperti hilang ditelan lumpur panas di ujung pulau sana.
Bung Blusut pucat pasi dia tahu telah terjadi sesuatu dan dia menunggu dengan keringat sebesar-besar jagung dari dahi ke dagu.
'Bung Blusut diduga ikut menikmati aliran dana dari rekanan kerja sama pembukaan tambang minyak dan gas di perairan Selatan.' Demikianlah judul headline koran nasional yang memerahkan mata dan telinga.
Dia 2 kali dipanggil sebagai saksi dan Jumat keramat di pemanggilan ketiga dia ditahan sebagai tersangka. Sekilas dalam perjalanan ke ruang tahanan dia melihat sosok yang sangat dia kenal di sebuah meja kerja lembaga 'super body' anti korupsi itu, Ajudin sang ajudan.
"Kau mata-mata ternyata, setan!" Teriak Bung Blusut.