[caption caption="Ilustrasi - ruangan rawat inap di rumah sakit. (KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)"][/caption]Bulan April tahun ini saya resmi satu tahun ditunjuk oleh direksi rumah sakit sebagai Ketua Tim BPJS Kesehatan Rumah Sakit Myria dan jujur saja sangat antusias kuterima tugas itu dengan senang hati, padahal saya sebenarnya sangat tidak suka diberi  "jabatan" banyak-banyak, karena di rumah sakit swasta, "jabatan" tidak ada "proyek basahnya".
Mengapa saya antusias? Karena per April 2015 rumah sakit kami diperpanjang kerjasama BPJS "hanya" 6 bulan dan disertai dengan banyak catatan, sementara kami sendiri pun masih belum "klop" di semua lini dengan pasien dan peraturan BPJS Kesehatan. Jujur penghasilan saya meningkat, tetapi saat itu banyak tagihan yang kena "pending" dan kami semua tidak tahu masalahnya.
Akhirnya melalui proses pencarian akar masalah selama 1-2 bulan, Tim BPJS Kesehatan Rumah Sakit Myria membuat beberapa pembenahan yang "lumayan" membuat pelaksanaan BPJS lebih lancar, antara lain:
1. Pembenahan di registrasi dan "manajemen tempat tidur". Sebelumnya, kami bingung apakah peserta BPJS yang mengaku adalah aktif, sah atau tidak. Namun, dengan berbagai informasi dan pembelajaran dari petugas BPJS, kami pun tahu aplikasi-aplikasi yang dapat mendeteksi aktifnya peserta dan tahu rujukan mana yang bermasalah serta pemecahannya. Manajemen tempat tidur pun kami menjadi tidak kaku lagi, kalau kelas 3 harus kelas 3 dan kalau naik kelas harus bayar. Terkadang demi "life saving", maka peserta BPJS kelas 3 pun dapat dititipkan ke VIP sebelum dirujuk atau pindah ke kelasnya di hari ke-2 atau 3 perawatan.
2. Pembenahan di rawat inap. Setahun pertama, terkesan masih ada beberapa "oknum" perawat yang seperti "sinis" kalau ada pasien BPJS, namun setelah hampir setiap hari bertemu dan diyakinkan bahwa gaji mereka pun saat itu sudah tergantung dari BPJS, lama-kelamaan "mind set" mereka berubah. Bahkan, saat ini ada kecenderungan perawat lebih hati-hati dengan pasien "non-BPJS" yang tidak punya asuransi lain, karena ada beberapa yang "minggat" karena tidak sanggup bayar atau sering marah-marah kalau tagihannya mereka anggap terlalu besar. Pasien BPJS sih cenderung "kalem" karena pasti ada yang bayarin tagihannya.
3. Pembenahan di rawat jalan. Kesulitan di rawat jalan terutama adalah membeludaknya pasien dari hanya kurang 100 orang seharian menjadi di atas 300 pasien sehari. Pasien saya pribadi yang sebelum BPJS dan semuanya bayar sendiri, paling sekitar 20-an orang, namun setelah BPJS selalu di atas 30 orang, pernah sampai 80 orang sehari. Perawat poliklinik pun harus ditambah, ruangan tunggu dibuat ber-AC dan lahan parkir pun ditambah untuk 100-an mobil. Perawat poli yang tadinya pukul 11 siang sudah bisa ngobrol sekarang malah 'snack' pun tidak sempat. Ada juga koordinator di poliklinik yang melihat "potensi masalah" sehingga keluhan pasien-pasien dan penunggu langsung diredam dan dicarikan solusinya.
4. Pembenahan di Instalasi Gawat Darurat. Jika selama ini pasien BPJS di IGD sering menjadi masalah dengan "kriteria" apakah gawat atau tidak, pasien dibayar atau tidak, maka dengan beberapa penyuluhan dan diskusi personal tim BPJS membuat "mind set" bagian IGD mulai bisa berubah, bahwa selama mereka yakin kasus itu sangat perlu ditolong, tolong saja dahulu. Bila mereka yakin kasus itu bisa ditunda pengobatannya ke puskesmas/dokter keluarga di jam kerjanya, pasien boleh ditolak dilayani dengan cara menolak yang halus dan jangan memancing emosi.
5. Di bidang farmasi, terdapat banyak juga masalah akibat sulitnya mendapatkan obat yang sesuai "harga BPJS" yang disebut 'e-catalog'. Di samping memang rumah sakit kami punya ketentuan persediaan obat hanya untuk 2 minggu. Padahal, pasien BPJS yang volume obatnya meningkat 4-5 kali sebelum ikut BPJS, membuat cadangan obat cepat habis. Pembenahan dilakukan dengan pemesanan obat-obat yang sering dipakai bisa sampai 3 bulan dan farmasi bisa bernegosiasi dengan perusahaan obat untuk mencari "diskon" sebesar-besarnya. Misalnya obat antibiotik yang 100 ribu per botol dapat ditawar "habis-habisan" sampai 30 ribu per botol, namun dengan konsekuensi obat termurahlah yang dipakai pada pasien BPJS dengan mutu yang dapat dipercaya. Hitung-hitungannya, dengan harga menyusut sampai 30%, tetapi volume pemakaian bisa 4-5 kali lipat, secara omset, perusahaan obat itu tidak rugi, malah mungkin untung lebih banyak.
6. Pembenahan di keuangan, di mana perhitungan "untung-rugi" yang tadinya dihitung per pasien, diubah mindset-nya menjadi keseluruhan. Misalnya 1 pasien merugi, 4 pasien tidak, atau malah untung maka kita tidak rugi. Atau misalnya pasien kelas 3 dititip ke kelas 1 atau VIP tidak masalah, jika penyakit si pasien ternyata berat dan pembayaran paket BPJS-nya juga berat.
7. Hubungan baik dengan perwakilan BPJS di rumah sakit. Sebelumnya, petugas BPJS di rumah sakit dianggap "duri dalam daging", karena sering tidak setuju membayar kasus tertentu yang tidak sesuai kaidah penagihan, namun setelah kami belajar kaidah-kaidah penagihan yang benar dan tidak mengulangi membuat diagnosis-diagnosis yang rawan di-pending, kasus yang dianggap tidak layak atau ditunda pembayaran karena tidak sepakat jauh berkurang. Dokter dan karyawan lain pun dilarang marah-marah ke petugas BPJS di rumah sakit kalau ada masalah. Tim BPJS yang menjadi mediator kalau dokter tidak setuju dengan kasus-kasusnya yang dianggap tidak layak atau "pending".
8. Pembenahan dokter spesialis. Dokter spesialis yang merawat pasien BPJS diberi masukan kapan waktunya merujuk dari tipe C ke rumah sakit yang lebih tinggi, bagaimana mengelola obat dan pemeriksaan penunjang yang efektif tapi efisien. Apa saja diagnosis yang sering dianggap 'up-coding', serta apa saja syaratnya membuktikan sebuah diagnosis berat (level 3). Dokter yang sangat tidak efisien dan sering protes menyalahkan BPJS (tetapi tetap mau 'uang BPJS') diberi peringatan atau bila perlu langsung tidak diijinkan merawat pasien BPJS. Pasien pun bebas memilih dokter, walaupun peserta BPJS. Jadi, kalau ada dokter yang hanya 'pegang-pegang' lalu tulis resep dan dia tidak puas, bisa beralih ke dokter lain, tetapi kalau dia tidak dipegang dan hanya ditatap saja sudah puas, 'yo wis' lanjutkan.