"Wah, diangkat jadi marga apa?"Tanya Saya pada Bapakku saat menerima undangan pesta pernikahan seorang pemuda Cina dengan pemudi Batak bermarga Simanjuntak yang ibunya Siahaan.
"Diangkat jadi marga Pardede. Acara angkat marganya bulan lalu..."Kata Bapak.
Sebenarnya secara urutan prioritas, Saya tidak masuk hitungan undangan dari pihak Siahaan, karena Bapak Saya sudah diundang, jadi anaknya tidak usah lagi, intinya satu grup keturunan cukuplah satu undangan. Tetapi karena Ayah, Ibu dan Adik-adik si pengantin wanita sering berobat ke Saya kalau sakit, maka saya diundang. Jadi posisinya lebih sebagai 'teman dekat' atau bahasa Bataknya 'Ale-ale' daripada sebagai 'Hula-hula' (raja dari sisi ibu pengantin perempuan).
Dalam adat Batak, orang yang sudah diadati seperti ini sudah 'sah' dianggap suku Batak. Malah, kedudukannya di adat lebih tinggi daripada orang Batak yang menikah tetapi belum diadati (hanya menikah secara sipil atau secara agama). Dia punya hak adat yang sama dengan orang Batak asli, bahkan anaknya boleh diberi marga sesuai marga pemberiannya.
"Jangan-jangan nanti dia lebih pintar 'mandokhata' daripada Kamu..."Kata Bapakku menyindir. 'Mandokhata' adalah seni berpetatah-petitih, memberi nasehat dengan berpantun memakai bahasa Batak. Biasanya kalimat-kalimat pantunnya berjumlah ganjil, 3,5,7 atau lebih. Pada saat mau memberikan ulos seperti gambar diatas, biasanya ada orang-orang penting di adat 'mandokhata dulu', makin banyak pantunnya, biasanya dia terlihat makin pintar bertutur, walaupun mungkin saja yang lain menggerutuh karena terlalu lama menunggu giliran mangulosi.
Ada salah seorang Jawa yang menikah dengan orang Batak dan diangkat menjadi marga Siahaan, dia malah lebih fasih berbahasa Batak dan lebih sering terlihat di acara adat Siahaan daripada Saya. Istilahnya malah dia lebih Siahaan dari saya yang duluan Siahaan. Itulah yang menunjukkan bahwa terkadang seorang suku lain yang sudah merasa bagian dari suku yang baru terkadang lebih menghayati peran-peran adatnya, kewajiban adatnya daripada mereka yang sudah ada di suku itu secara alami.
Maka, jangan sekali-sekali menghakimi orang lain yang berbeda kelompok atau golongan dari kita, kalau ternyata si orang itu sudah merasa menjadi bagian dari kita. Dia bisa saja mengabdi, berjuang lebih keras dan lebih gigih dari kita yang menganggap diri 'asli'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H