Mengikuti 'Bandung Cardiology Update 2017' tanggal 22-23 Juli 2017 membuat kejutan tersendiri buat saya, karena salah satu pembicara dari luar negerinya, Asisten Profesor Jantung Intervensi di University of Utah School of Medicine Amerika Serikat ternyata seniorku 3 tahun dari FK UNSRI Palembang, namanya dr Anwar Tandar.
Sekarang dia menetap di Amerika dan menjadi warga disana karena ahli seperti ini sangat dibutuhkan di Amerika, sementara kalau pulang ke Indonesia, semua dokter tamatan luar negeri harus ikut 'program penyesuaian' di Indonesia yang memakan waktu beberapa tahun, sesuai kriteria lulus universitas yang ditunjuk.
Menurutnya, memasang cincin jantung pada pembuluh darah koroner yang tersumbat dalam 90 menit pertama memang penting, tetapi angka kematiannya masih diatas 50%, bahkan 80%, jadi apa yang dapat lagi dilakukan sebelum melakukan pelebaran pembuluh darah koroner ini?
Melalui prosedur ini, ternyata angka kematian akibat syk kardiogenik dilaporkan menurun menjadi 45%. Tentu saja prosedur ini menjadi sangat mahal, namun mengingat prosedur yang tanpa 'ECMO' kematiannya diatas 50%, saat ini prosedur inilah yang paling direkomendasikan.
Maka, disimpulkan oleh dr. Anwar Tandar, waktu pemasangan cincin jantung yang 90 menit sebenarnya dapat ditunda dengan mendahulukan pemasangan alat pembantu jantung bernama 'ECMO', karena sebelum menolong pembuluh darah koroner, maka si jantungnya sendiri harus diistirahatkan dan tugasnya mengirim oksigen ke seluruh tubuh diganti oleh mesin.
Apakah ini sudah pernah dilakukan di Indonesia? Saya belum mendengar ada laporan penelitiannya, karena di Utah USA pun prosedur ini masih dikembangkan. Mudah-mudahan alat seperti ini dapat disediakan di semua rumah sakit yang memiliki ahli jantung intervensi supaya angka kematian akibat syok kardiogenik di Indonesia dapat turun kurang dari 50%.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H