"Pasien diare ini sudah tidak mencret sering lagi, makannya sudah banyak, infusannya terlepas, apakah harus dipasang lagi, Dok?" Tanya Perawat pendamping pemeriksaan.
"Ibu sudah segar? Makan dan minumnya banyak?" Tanya Saya dan Pasien usia 50-an tahun itu mengangguk.
Lalu Saya perbolehkan infusnya dilepas, padahal baru dua hari dan pasien klinisnya membaik. Saya bandingkan ketika baru masuk, tangan dan kakinya dingin, tekanan darahnya 70/ palpasi, tegangan kulit perutnya kendur.
"Syukurlah, Dok. Karena alat infus yang sekarang ini mudah lepas dan terkadang bagian mengatur tetesannya sering tidak pas. Kita atur 10 tetes, dia macet, diatur 30 tetes dia sering mengocor sendiri."Katanya.
Memang sejak BPJS, alat kesehatan pun diupayakan efisiensi. Alat mahal yang selama ini dipakai diganti dengan yang lebih murah dengan cara diuji coba dahulu, kalau bagus dipakai, jika tidak bagus ditunda pakai.
"Katanya saat uji coba, cukup bagus.."Tanya Saya penasaran.
"Itulah, Dok. Waktu kita dikasih contoh untuk uji coba, keluhan tidak ada. Waktu dipakai yang dibeli benaran, kenapa banyak keluhan perawat ya? Apa mungkin alat untuk uji coba dan yang untuk dijual kualitasnya berbeda?"Tanya si Kepala Ruangan.
Maka, saya usulkan semua kepala ruangan melaporkan hal itu ke Direktur Keperawatan dilengkapi data-data berapa kali seminggu atau sebulan terjadi alat tidak berfungsi dan terpaksa diganti.
Ya, kalau alatnya lebih murah 30 persen, tetapi harus diganti 3 sampai 4 kali lebih banyak dari alat yang mahal, namanya juga pemborosan.
"Alat kesehatan yang biasa, yang agak mahal tetap masih bisa dipakai kalau memang pasiennya kritis, infusnya bakal lama, tetesannya harus tepat, jadi tidak kaku semua harus pakai yang murah."Kata Suster Direktur Keperawatan.
Nah, murah dan efisiensi bisa berjalan seiring, tetapi bisa juga tidak. Kalau harga alat dan obat murah, tetapi mutunya jelek, bisa jadi menjadikan biaya lebih tinggi kalau hasilnya seperempat atau seperlima dari yang lebih mahal.