Bila anda memiliki orang tua atau keluarga yang sudah menderita penyakit kronis dan komplikasi lalu tiba-tiba ada kegawatdaruratan misalnya kejang-kejang, sesak, muntah hebat, diare tak berhenti atau tidak sadarkan diri, pastilah dengan spontan kita akan membawanya ke rumah sakit melalui Instalasi Gawat Darurat dan umumnya sebagian besar memakai BPJS Kesehatan.Â
Bila ada perbaikan, dimana si pasien mulai sadar, keluhan berkurang, dapat makan lagi, tidak perlu oksigen lagi maka pasien dapat pulang dan menjalani rawat jalan biasa tetapi bagaimana kalau kondisinya tidak membaik selama beberapa minggu sampai beberapa bulan?
Pasien fase terminal adalah kondisi dimana segala upaya apapun telah dilakukan oleh tenaga medis sampai fasilitas kesehatan lanjutan dengan perawatan spesialis ataupun subspesialis namun tidak dapat mencegah perburukan kondisi klinis sampai mencapai tahap kritis menjelang ajal atau fase terminal.Â
Biasanya keluarga juga sudah pasrah dan menerima kalau pasien suatu saat meninggal bahkan sudah menandatangani pernyataan "DNR" ( do not resuscitate ) yaitu pihak rumah sakit tidak perlu melakukan pijat jantung ke pasien ini kalau sewaktu-waktu jantungnya berhenti berdenyut atau asystole.
Masalahnya adalah ketika pasien tidak bisa diharapkan pulih dengan segala upaya dan keluarga sudah pasrah, tim medis juga sudah memberikan terapi suportif dasar hidup saja seperti oksigen, vitamin dan antibiotik pencegah infeksi sekunder namun pasien menjadi stabil kritisnya, maksudnya tetap kritis tetapi tidak juga meninggal dan keluarga yang menjaga sudah lelah menunggu muzizat dan mau membawa pulang si pasien, bolehkah?
Sejak bulan Juni 2024 ada ketentuan peraturan BPJS tentang pulang paksa atau "APS" (atas permintaan sendiri) dimana kalau pasien atau keluarga mau pulang tanpa ijin dokter maka jaminan BPJS-nya tidak berlaku alias harus bayar sendiri.Â
Mungkin kalau biaya si pasien sekitar 1-2 juta rupiah akan sangat cepat dibayarkan keluarga, tetapi bayangkan kalau si pasien kritis sudah dirawat sebulan dengan biaya ratusan juta rupiah, maka akan sangat memberatkan. Pasti keluarga memilih menunggu si pasien meninggal di rumah sakit atau menunggu si pasien pulih lagi bila ada muzizat daripada harus jual rumah atau mobil hanya untuk pulang paksa.
Dari sisi rumah sakit, kondisi inipun sebenarnya dilematis.Â
Di satu sisi akan sangat menguntungkan kalau banyak pasien yang pulang paksa saja, sehingga "cash flow" rumah sakit terjaga, tetapi kalau ternyata banyak pasien kritis tahap terminal di rumah sakit mereka harus dirawat berminggu sampai berbulan tanpa tahu kapan sembuh atau meninggalnya si pasien, sementara tetap harus memberikan terapi fisiologis terhadap pasien untuk menghindari tuduhan "euthanasia" atau malpraktek, bisa jadi 100 tempat tidur daya tampung rumah sakit itu misalnya 50%-nya terisi pasien fase terminal semua, bagaimana mungkin mereka bisa bertahan?
Mungkin perlu dipikirkan beberapa kebijakan untuk aturan pulang paksa pasien BPJS yang fase terminal ini, yaitu;