"Saya menyerah, Dok. Tidak kuat lagi, jadi saya berhenti dahulu beternak jangkriknya."Pengakuan Bapak usia 40-an tahun tersebut yang sudah 1 tahunan berobat asma di poliklinik.
"Padahal uangnya lumayan ya pak?"Pancing saya.
"Iya, Dok. Telur jangkriknya saya beli dari Jawa Secara online, Â lalu kita masukkan ke kotak-kotak penangkaran, sebulan lebih seminggu bisa dipanen, harganya sekilo minimal 40 ribu."Katanya.
Dan si Pasien dapat sebulan sekitar 100 kiloan, sehingga kurang lebih minimal dapat 4 jutaan. Modal untuk perawatan jangkrikpun menurutnya murah.
Tetapi si Bapak sejak memelihara jangkrik tersebut sering cepat lelah, batuk-batuk dan sesak napas, terutama saat panen, ketika memindahkan jangkrik-jangkrik dari kotak penangkaran ke wadah penjualan. Makanya dia berobat dan ternyata pemeriksaan spirometrinya didapatkan volume napas 1 detik pertama hanya dibawah 50% yang seharusnya minimal 80%.
Ketika ditanya faktor resiko asma, dia tidak merokok, tidak memelihara kucing dan tidak suka makan "seafood" termasuk ikan asin dan ikan teri, maka dugaan berikutnya adalah karena faktor serangga si jangkrik.
Protein serangga memang sering menimbulkan reaksi alergi karena antigennya mungkin memicu imunoglobulin di tubuh pasien untuk bereaksi. Dan terakhir selain saluran napasnya, tangan si pasienpun jadi gatal-gatal sampai bersisik-sisik akobat garukan.
Maka pada Pasien ini selain obat steroid inhaler dan bronkodilator inhaler, perlu dipikirkan untuk obat antigatal lokal di tangan serta alat pelindung diri saat kerja dengan memakai sarung tangan khusus dan masker khusus yang dapat menahan alergen dari protein tubuh jangkrik.
Apalah daya, si Bapak ternyata memilih istirahat dahulu beternak serangga yang sering dijadikan makanan ikan-ikan hias ini karena tidak tahan lagi dengan ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
Ternyata rasa nyaman lebih berharga daripada uang. Setuju, gak?