I. Lahirnya Istilah Meng-covid-kan Pasien
"Hasil "swab PCR"-nya belum keluar, Â kan. Kenapa Bapakku dibungkus plastik dan peti begitu?" Teriak si Anak lelaki Pasien 60-an tahun itu menghardik Prima, Â ketua perawat jaga bangsal tingkat 4, bangsal khusus isolasi virus mematikan corona di malam itu, Â beberapa keluarga lainpun berteriak histeris mengancamnya dan petugas pemulasaraan jenazah.Â
Itu kejadian di kisaran Mei 2020, saat rumah sakit tipe C berkapasitas 150 tempat tidur itu mulai ditugaskan merawat pasien covid 19.
"Gejala penyakit si Pasien menunjukkan ke penyakit itu dan ronsen dada serta laboratoriumnya juga. Kalau tidak bersedia jenazah dimakamkan sesuai protokol, Â boleh protes ke Tim Gugus Tugas COVID-19 Kota."Perawat usia 32 tahun dengan anak 2 orang masih kecil-kecil itu berusaha terlihat tegas walau dalam hati dia takut juga karena tabiat dan budaya masyarakat di sekitar kota dan dusun-dusunnya ini terkenal keras dan kasar. Terutama di kalangan ekonomi menengah ke bawah yang entah mengapa selalu merasa berhak merebut hak-hak azazinya yang konon katanya diabaikan.Â
Benar saja setelah ditelpon bagian keamanan, Â setengah jam kemudian belasan aparat mengamankan keluarga yang nyaris rusuh dan jenazah dapat dimakamkan di pemakaman khusus dengan protokol ketat.Â
Hasil "swab" si Pasien baru didapat tiga minggu kemudian karena semua "sample" saat itu dikirim ke ibukota dan satu hasilnya negatif sementara yang kedua positif.Â
"Tuh kan. Â Sampelnya negatif satu." Anak si Almarhum protes, Â saat dipanggil semua keluarga yang kontak lama menjaga saat perawatan 4 hari Bapaknya, untuk "tracing" penularan.
"Satu positif berarti positif, pak." Penjelasan doktek Coki Spesialis Paru, kalem, dia tidak mau berdebat lebih lanjut apalagi berkelahi dengan keluarga Pasien, selain dapat melanggar etik juga dapat terjadi cedera parah yang mengganggunya praktek.Â
Dan benar saja, Â dua dari 7 orang yang kontak erat dengan si Pasien ternyata positif corona.Â
Tetapi memang ada 65% Pasien usia tua dengan "stroke", serangan jantung atau penyakit sumbatan saluran napas kronis yang beberapa minggu kemudian hasil PCR-nya negatif tetapi sudah dimakamkan secara protokol covid-19 dan inilah yang memunculkan istilah "di-covid-kan".
"Apakah karena harga Pasien covid dibayar lebih mahal dari pasien diagnosis lain, Â Dok? "Tanya dokter Mimi, Â dokter magang setahun di rumah sakit tipe C itu, Â masih muda, 24 tahun dan cantik.Â
Dokter Coki, si Pulmonologis yang memberi bimbingan kepada 11 dokter magang hari itu menghela napas agak panjang, "Secara "off the record" Saya akui ada oknum dokter atau manajemen nakal di beberapa rumah sakit yang melakukan itu. Â Dapat dikategorikan "fraud" atau kecurangan dan ini bisa dipidana. Â Tetapi secara ilmiah dapat dijelaskan hasil PCR negatif palsu pada pasien covid, yaitu pertama, Â karena sample dikirim ke ibukota, Â maka rusak.Â
Kedua bisa saja Pasien datang terlambat, Â sudah di rumah sakit 2 minggu dan baru ke rumah sakit saat virusnya sudah hilang tetapi gejala sisa gangguan imunitas atau sepsisnya tambah fatal. Ketiga, Â mungkin saja virus di hidung dan mulut belakang negatif tetapi di dahak yang ada di dalam paru-paru masih banyak, Â ini mengambilnya harus pakai alat bronkoskopi. "Â
Satu jam bimbingan dokter magang itu berlangsung seru dan seperti kekurangan waktu, namun pandangan Coki, dokter paru bujangan yang sudah 41 tahun itu selalu kembali ke wajah Mimi.Â
"Mungkinkah gadis secantik ini masih sendiri? "Pikirnya.Â
(bersambung, kan novel)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H