Status "facebook" (fb) saya kemarin membahas fenomena ada kasus kriminal baru: penimbunan masker yang membuat harganya sulit terjangkau dan langka. Salah satu pasien tuberkulosis (TBC) yang menjadi teman fb saya juga memberi komentar yang membuat hati pilu. Dia sadar sakit TBC dan dia tahu selama masa pengobatan dan belum dinyatakan bebas TBC, dia masih menularkan. Untuk itu dengan kesadaran sendiri dia selalu memakai masker yang biasanya dapat dibeli 1 kotak seharga 20 ribu rupiah tetapi beberapa hari ini sulit ditemui.
Kita maklumi ini sejenis "hysteria publica" sesaat karena informasi yang beredar tentang virus corona sangat massif, baik yang "evidence base" maupun ilmu "cocokologi" tingkat tinggi yang sialnya diterima mentah-mentah oleh masyarakat yang sudah ketakutan duluan.
Contohnya pasien saya di atas, dia adalah satu dari 800 ribuan pasien TBC di Indonesia yang setiap harinya kurang lebih 300 orang meninggal karena kasus ini. Bandingkan dengan kasus virus corona di seluruh dunia yang belum mencapai 100 ribu dan kematiannya di kisaran 3%, itupun ternyata meninggalnya karena pneumonia berat yang mengenai pasien usia tua atau ada penyakit parah sebelumnya.
Pasien demam berdarah di Indonesia sudah 90-an yang meninggal dunia, sepanjang 2020. Banjir di Jabodetabek sejak awal tahun konon sudah menelan korban jiwa 60-an orang dan yang terpenting kecelakaan lalu lintas di negeri ini sudah masuk 3 besar di dunia.
Bukan menganggap remeh virus corona dengan segala keperkasaan dan ketularannya, namun kalau sampai semua konsentrasi dana, semua program, semua sosialisasi di media sosial terpusat ke mahluk terkecil di bumi yang tidak tahan hidup lebih 10 menit di alam bebas serta anggaran atau program ke TBC misalnya dikurangi, maka mungkin kematian karena TBC akan meningkat dari 300 orang sehari menjadi 500 orang sehari, belum lagi penularannya akan tambah banyak karena masker mahal.
Jadi, bagi pemegang kebijakan anggaran di level manapun di republik ini, tolong jangan memanfaatkan kepanikan level dunia terhadap corona menjadi alasan sejenak melarikan diri dari tanggung jaeab terhadap bencana banjir, kecelakaan lalu lintas, serta penyakit " el classico" di Indonesia yaitu TBC dan demam berdarah.
Karena banjir, membuat badan dan pemukiman lembab, membuat virus corona lebih cepat menular tetapi virus corona, sebanyak apapun dia tidak akan menyumbat selokan dan sungai sehingga memperparah banjir.
Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H