Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ibu Kota Pindah karena Terlalu Sering Demonstrasi Besar-besaran di Jakarta?

1 Mei 2019   15:15 Diperbarui: 2 Mei 2019   18:21 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau dibilang masalah banjir,  sepertinya bukan. Sejak jaman kolonial Hindia Belanda, sudah ada ide pembuatan banjir kanal di Jakarta, berarti memang wilayah ini langganannya banjir. Banjir dapat dari kiriman dari hulu, karena curah hujan yang tinggi, karena  pasang naik laut pantai utara ataupun kombinasi ketiganya di saat yang sama,  ini yang disebut banjir besar 5 tahunan. 

Soal kemacetan,  ini mungkin  akan segera terselesaikan kalau masyarakat sudah percaya moda transportasi masal seperti kereta, bus atau taksi "online".

Mungkin,  yang menjadi alasan terpenting mengapa ibu kota negara Indonesia harus pindah, karena Jakarta terlalu mudah dijadikan tempat mobilisasi massa untuk berdemo besar-besaran. Ini  dimungkinkan karena jumlah penduduk yang tinggal di pulau Jawa sebanyak kurang lebih 150 juta orang, 100 jutaan lainnya penduduk Indonesia tersebar  di 13 ribuan pulau lain. 

Memobilisasi 1,2 atau 5 juta orang dengan naik bus, kereta api atau jalan kaki pun akan sangat mungkin dilakukan, karena moda transportasi cukup banyak dan jalan rayanya pun relatif mulus dan tidak banyak begal. 

Bila jutaan massa sedemikian memaksakan kehendak, otomatis menjadi alasan memproklamirkan kondisi genting dan tokoh yang ada di belakang layarnya biasanya memiliki posisi tawar yang tinggi dan bukan tidak mungkin menjadi penguasa selanjutnya.

Padahal, belum tentu 1-5 juta orang yang menyerbu serta menguasai jalan jalan  protokol di ibu kota itu benar benar mewakili aspirasi 250juta rakyat Indonesia.  Kebetulan saja  mereka tinggal di dekat dengan ibu kota dan sepakat dengan ide perjuangan tokoh politik yang memprakarsai demonstrasi. 

Jika ibu kota ada di Kalimantan yang jumlah penduduknya hanya 20 jutaan orang dan antar kota masih terpisahkan sungai besar dan hutan lebat lengkap dengan binatang buas dan perampoknya,  maka demonstrasi besar hanya dapat terjadi kalau masalah yang terjadi benar-benar prinsipil, bukan masalah  "settingan" propaganda kelompok tertentu yang kebetulan mampu mengompori massa. 

Lagipula rakyat Kalimantan  yang pluralismenya sudah terbina lama,  sulit dipanas-panasi untuk isu-isu primordial yang sangat laku di pulau Jawa. 

Sumber: dokumentasi kompal
Sumber: dokumentasi kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun