"Jangan takut ditakut-takuti" merupakan pesan yang dapat diartikan bermacam-macam tergantung yang mau membuat opini ke arah mana itu kalimat berlabuh. Ada yang menganggapnya semacam provokasi untuk tawuran, ada yang menganggapnya adalah sebuah penguatan semangat dalam berkampanye sehat dan sesekali menerima ancaman atau hanya instruksi sederhana, ke TPS (tempat pemungutan suara)-lah pada hari "H" dengan berani, tanpa takut disakiti siapapun di sekitar tempat itu karena tentara dan polisi siap mengawal pemilihan umum yang jujur dan adil.
Warga negara Indonesia yang golongan putih (golput), sebagian sebenarnya masih peduli dengan demokrasi, namun beberapa hal teknis dapat saja menjadi penghambat mereka ke TPS antara pukul 7 pagi ke 12 siang, antara lain: sedang keluar kota, sedang di rumah sakit karena sakit atau menjagai yang sakit dan mungkin saja kalau perjalanannya ke TPS terhalang oleh sesuatu atau dia dengar akan dihalang-halangi oleh sekelompok "perusuh".
Ajakan "mengawal" TPS dari malam hari sebelum pencoblosan sampai penghitungan suara kubu tertentu mengisyaratkan ada kemungkinan sekelompok orang tetap berkerumun di TPS selesai tugasnya mencoblos dan membuat "keder" pemilih yang berseberangan untuk datang atau untuk mencoblos yang berbeda.
Belajar dari pilkada DKI 2017, dimana putaran kedua "katanya" ada ajakan yang mirip: menjaga TPS, dengan asumsi pemilih Ahok akan takut mencoblos karena akan kontak fisik dengan tim lawan, sebenarnya tidak akan sama persis dengan kondisi di pilpres 2019. Alasannya sebagai berikut:
1. Saat pilkada DKI 2017, putaran kedua, hanya DKI yang pilkada, daerah lain tidak, jadi orang-orang daerah lain mungkin saja berbondong-bondong ke DKI untuk "mengawal" TPS tanpa harus punya urusan mencoblos di daerah pemilihannya. Nah, di tahun 2019 ini yang dipastikan hanya 1 putaran, kecuali ada bukti kecurangan massif, semua warga negara harus ada di dekat TPS masing-masing karena memang harus mencoblos disana.
2. Di Pilkada DKI 2017, pemilih Ahok-Djarot di putaran pertama adalah 2.360 ribuan suara syah, sementara di putaran kedua 2.350 ribuan suara syah, hanya terjadi pengurangan 10 sampai belasan ribu suara saja, apa mungkin ini terjadi karena ditakut-takuti, atau hanya sekedar "tidak sempat" saja ke TPS karena ada keperluan yang lebih penting.
3. Di Pilkada DKI 2017, kemungkinan besar memang pemilih AHY hampir 100% pindah ke Anis-Sandi, mungkin akibat di putaran 1 sebenarnya kedua timses dan relawan mereka memang sudah "berlawanan" dengan pertahana. Jika di putaran pertama Ahok-Djarot langsung mendapat suara diatas 50%, maka pilkada akan selesai. Di pilpres 2019 ini, dapat dipastikan langsung akan ada yang suaranya diatas 50% dan sengketa pilpres baru dapat diajukan kalau selisih suara yang dibuktikan curang, jumlahnya lebih besar daripada selisih suara kedua pasangan calon. Misalnya kecurangan dibuktikan di 1 juta suara, namun selisih suara 2 juta, maka gugatan ke MK akan ditolak seperti video di bawah ini:
Maka, menurut saya, menakut-nakuti warga ke TPS sebenarnya kurang efektif untuk kedua tim sukses, karena ketiga alasan diatas dengan belajar dari pilkada DKI 2017. Pilpres dan pileg tahun ini sudah disepakati eksekutif dan legislatif serempak dan ditentukan KPU hanya dua pasangan calon presiden-wakil presiden, Â maka konsentrasi semua timses dan relawan sebenarnya hanyalah satu: amankan peluang suara masing-masing dan berhentilah memikirkan peluang suara orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H