Pertanyaan di judul itu ditanyakan teman dekat yang terkadang meragukan institusi kesehatan di negeri ini, ketika beberapa tahun lalu ada salah satu kepala daerah kedapatan pesta narkoba dengan urinnya positif mengandung zat haram tersebut. Asumsi dia, pecandu narkoba hampir pasti memakai "barang" itu setiap hari dan hampir pasti urinnya positif, kalau toh dia terpaksa "puasa" memakai itu seminggu, pastilah ada gejala putus obat yang saat diperiksa oleh dokter akan kelihatan.
Ujung-ujungnya memang institusi yang dipercaya melakukan tes kesehatan untuk para calon pemimpin perusahaan plat merah atau para pemimpin daerah atau pejabat negara lainnya ini pun harus repot menjelaskan apa saja yang diperiksa dan apa saja hasilnya, lanjut harus menjelaskan kompetensi petugas yang terlibat dan integritasnya dijamin baik. Selesai.
Benarkah selesai? Ya, memang itulah yang dapat dilakukan, karena pemeriksaan kesehatan bagi para calon-calon ini bersifat "on-site" alias sewaktu dan sudah dijadwalkan dan sudah diumumkan pula apa saja yang akan diperiksa atau setidaknya standarnya semua calon sudah pada tahu.
Lagipula standar sehat untuk calon-calon dengan jabatan penting itu jangan disamakan dengan standar sehat untuk pemain bola Real Madrid atau syarat mental spiritual untuk aparat hukum yang memegang pistol misalnya, yang harus stabil emosinya, tidak gegabah dan mampu menahan diri. Kalau sudah dinyatakan sakit jiwa, baru si calon ini gagal tes kejiwaan, tetapi kalau masih emosi labil sih tidak terlalu masalah.
Pihak si calon biasanya punya tim kesehatan tersendiri yang memiliki kiat-kiat untuk "meloloskan" beliau-beliau ini dari tes-tes tersebut. Misalnya untuk calon yang pencinta narkoba, pasti dibuat tehnik-tehnik "mencuci" zat haram itu dari tubuhnya. Kecuali yang diperiksa rambut, maka dapat dideteksi beberapa bulan.
Berbeda, kalau seorang pemimpin daerah atau pemimpin perusahaan negara atau pejabat negara lainnya yang sangat penting, dilakukan tes kesehatan dengan karantina 7 hari misalnya, dimana dokter spesialis multidisiplin mengamati seharian, maka akan dapat terdeteksi kalau ada kelainan di bidang fisik maupun mental spiritual yang patut dipertimbangkan untuk tidak merekomendasikan seseorang untuk jabatan tertentu.
Terutama untuk urusan mental spiritual, memang pemimpin atau pejabat negara tidak memegang pistol, tetapi mereka dapat saja memicu perang atau melakukan pembersihan etnis seperti tragedi Hutu-Tutsi atau perang Balkan, Â sehingga pengendalian emosi serta mentalitasnya seharusnya stabil dalam pengamatan berjangka waktu beberapa hari dan bukan hanya psikotest "onsite".
Mungkin dilain waktu, beberapa pertimbangan diatas dapat dipakai oleh pihak yang berkepentingan untuk "menyaring" calon pemimpin penting di beberapa jabatan negara dengan kesehatan fisik dan mental yang prima dengan pengamatan yang tidak "onsite" tetapi karantina beberapa hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H