3. Pasien yang tua dan pikun. Beberapa kondisi, pasien yang tua dan pikun tidak mengerti apa dan bagaimana obatnya harus dimakan, kalau pakai buku "prolanis" dan ada obat yang tidak diberikan atau kurang dia tidak masalah, tetapi ternyata beberapa minggu kemudian harus dibawa ke ruang gawat darurat akibat tidak terkontrol lagi penyakitnya.
4. Pasien penyakit asma yang tergantung inhaler. Sering obatnya di apotik tidak dikasih.
5. Pasien yang sudah stabil tetapi sangat tidak percaya dengan FKTP. Saya bisa bertengkar 10-15 menit dengan pasien seperti ini kalau saya sarankan dengan sangat untuk pakai buku "prolanis". Lucunya pasien jenis ini sering tidak makan obat dengan sengaja 2 hari sebelum kontrol dengan tujuan gula darahnya kembali naik 300-an dan tekahan darahnya diatas 160/ 100 saat kontrol dan ada alasan menyatakan dirinya belum stabil.
Bila FKTP dan apotik yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan memiliki standar yang sama, di seluruh Indonesia dalam melayani pasien-pasien "prolanis", maka bukan tidak mungkin penyakit-penyakit katastropik seperti ini dapat dikendalikan di FKTP saja dengan dana kapitasi biasa dan tidak perlu berlama-lama di rumah sakit yang perkunjungan senilai 190-200-an ribu. Bayangkan kalau 1 juta saja sebulan pasien jenis ini dapat dicegah ke rumah sakit, uangnya sudah 200-an milyar perbulan dan setahun sudah 2,4 trilyun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H