Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ini Bukan Soal Bertukar Nomor 1 atau 2, Bukan Pula Soal Dendam Relawan Tak Sudah, Ini adalah Risiko Demokrasi

24 September 2018   06:05 Diperbarui: 24 September 2018   16:18 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencoblos (dokumentasi pribadi)

"Bagaimana salam dua jari,ya? Masak ditukar jadi salam satu jari? Lagunya yang dahulu sudah enak banget...."Keluh salah seorang teman yang mengakui masih ikutan proses pemilihan presiden (pilpres) 2019 ini dengan emosional. Alasannya dia sangat menyukai Jokowi dan otomatis sangat tidak menyukai Prabowo.

Hasil undian yang bertukar nomor antara Jokowi dengan pasangan barunya Ma'ruf Amin serta Prabowo yang kali ini bersama Sandy membuat beberapa strategi kampanye dari lagu, slogan dan "taggar" yang sudah akrab sejak 2014 harus didaur ulang atau malah diganti total, karena takutnya malah jadi keuntungan pihak lawan bila dipakai lagi angka 2 atau angka 1-nya.

"Takutnya seperti pemain bola lupa kalau ganti babak satu ke babak dua, maka gawangnya juga ditukar, bisa saja dia malah menyerang ke gawangnya sendiri dan membuat gol bunuh diri..."Kata teman yang lain, yang simpatisan partai dan keluarganya ada yang masuk tim sukses resmi Jokowi.

Kemenangan Obama di pilpres Amerika Serikat tahun 2008 yang menurut pengakuannya sangat ditentukan media sosial "facebook" yang pendekatannya lebih "personal" ke warga negaranya, membuat pilpres di Indonesia tahun 2014 lebih "maya" dari pemilu-pemilu sebelumnya. "Cyber Army" dari kedua kubu baik resmi maupun tidak resmi, dibayar maupun yang gratisan atas biaya sendiri-pun melakukan berbagai cara kampanye positif, negatif bahkan "hoax" demi memenangkan hati rakyat yang diyakini hampir semuanya punya "Gadget". Saling serang komentar antara "postingan" satu sama lain cukup menguras emosi dan rasa sakit hati atau malah dendam ke relawan pihak lawan.

Tahun ini-pun ternyata "lu lagi,lu lagi" yang harus dihadapi para relawan dan mesin perangnya yang tadinya tinggal jalan ngebut, ternyata harus "reset" ulang akibat berubah nomor urut capres-cawapres.

Jualan keberhasilan infrastruktur Jokowi "so pasti" akan dilawan opini antiinfrastruktur lawan. Kenaikan nilai tukar dollar sebagai kampanye negatif bagi Jokowi akan dilawan dengan penjelasan dan data inflasi kecil dan cadangan devisa cukup dari pihak pertahana. 

Soal kemiskinan? Ini jualan paling enak sebenarnya bagi "penantang", tinggal menyuruh beberapa emak-emak mengaku susah belanja dari gaji suami karena apa-apa sekarang mahal padahal sebenarnya dianya sering jalan-jalan keluar negeri yang barang belanja disana 5x harga disini, akan dijawab oleh relawan pertahana dengan bukti "postingan medsos" si emak-emak tadi ternyata selebriti traveling yang pernah ke Taj Mahal dan menara Eiffel, terungkap semua "settingan" dialognya.

Tetapi prinsip dasarnya tetap satu, bersyukurlah itu semua ada, berarti kita memang harus rutin melakukan itu seyogyanya tiap 4 tahun sekali akibat risiko berdemokrasi.

Rivalitas pemain bola dua kesebelasan hanya terjadi saat 90 menit waktu normal dan dapat memanjang 120 menit perpanjangan waktu atau 150-200 menit jika terjadi tendangan pinalti yang lama. Tetapi setelah itu maka para pemain berpelukan, minta maaf kalau ada kaki yang patah terinjak atau kepala yang berdarah terbentur, serta tukar-tukaran "jersey" untuk kenang-kenangan.

Demikian pula seharusnya para relawan, tim sukses dan partai pengusung capres-cawapres di pemilihan umum berdasarkan demokrasi pemilihan langsung. Pilpres sebenarnya adalah "pesta" yang harus dinikmati seperti permainan bola, keras, penuh muslihat tetapi sesudah pluit panjang dibunyikan maka semua harus bertukar "jersey".

Bersyukurlah masih ada partai-partai dan masih ada tokoh yang setiap 5 tahun harus turun tahta dan dilakukan pemilihan kembali, sehingga si pemimpin akan hati-hati melaksanakan tugasnya. Ada undang-undang dasar dan TNI-POLRI yang netral yang menjaga proses rivalitas 5 tahunan itu tetap berlangsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun