Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Merdekalah dari Rasa Ingin "Menguliti" Lawan Politik

17 Agustus 2018   05:43 Diperbarui: 17 Agustus 2018   06:29 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lawan itu kawan (dok.pri)

"Saya menunggu hal-hal yang positif dari pak J, tetapi tidak ada...." Kata tuan R yang katanya filsuf terhebat di negeri ini yang dapat memakai sebuah fenomena remeh pun menjadi begitu terang benderang menohok versi dia yang sangat anti dengan pak J. Bayangkan, tuan J yang popularitasnya sedang naik daun dianggap tidak ada baik-baiknya sedikitpun. Tokoh yang bukan guru besar tetapi "laku" karena tidak ditengah posisinya melainkan miring ke satu sisi, namun di acara "I" yang konon katanya mulai dilarang tonton sekelompok massa besar karena "tendensius" memihak ke poros kedua, posisinya selalu saja dibuat "akademisi" seolah pemikirannya hasil penelitian yang jujur dan teruji oleh senat kampus.

"Mr. P dan S adalah lelucon politik", "Demokrasi kita adalah diplomasi kardus","Dia bicara pakai referensi buku fiksi..." Kata tuan A, B,C di acara lain yang seperti mau menohok lawan politiknya, membuat malu dan "menguliti" di acara debat yang tidak resmi, membuat puas di hati tetapi belum tentu rakyat suka cara menohok-nohok seperti ini.

Apakah mungkin ada kemerdekaan kalau hati selalu ingin "mempermalukan", "membunuh pelan-pelan" atau "membalas mata dengan mata" terhadap lawan politik yang secara filosofis sebenarnya adalah teman bertanding?

Ibarat permainan bola mungkin tahun depan kita akan menyaksikan kesebelasan dengan benteng pertahanan kokoh bak "catenaccio Italia" di satu sisi melawan kesebelasan dengan deretan penyerang terbaik ala kesebelasan Brazil yang memenangkan piala dunia 1970, saat Pele sedang di puncak permainannya. Haruskah kita menguliti satu persatu pemain di kesebelasan itu dengan maksud membuat si pemain "down" secara mental lebih dahulu sehingga di laga final dia berlaga tidak dalam performa terbaiknya? Misalnya penjaga gawang akan sering "blunder" atau penyerang tengah akan sering menembakkan bola malah ke samping gawang melulu?

Mungkin filosofi ini berat, kita tidak akan kuat, tetapi mengijinkan lawan politik bertanding dengan caranya yang kita doakan "fair", sementara kitapun mempersiapkan pertandingan dengan cara-cara " fair" tanpa sekali lagi tanpa keinginan untuk "mematikan, menguliti atau menenggelamkan" mereka sebelum laga final adalah kemerdekaan hati yang hakiki bagi kita saat ini.

Kemerdekaan jenis ini tidak membutuhkan bambu runcing atau bom nuklir, hanya butuh doa, termasuk bagi saya, doakan saya di laga ini. Sesederhana itu.

dari FB kompal
dari FB kompal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun