Amien Rais, salah satu tokoh reformasi 1998 menjadikan kemenangan Mahathir Mohamad di pemilihan umum Malaysia tahun ini sebagai salah satu "tanda-tanda" tergantikannya presiden di 2019. Mungkin saja beliau masih terkenang saat tahun 1998, sebelum lengsernya Presiden Soeharto ketika itu tiga sekawan Ibu Megawati, Gusdur dan Amien Rais kerap bertemu untuk menggalakkan semangat reformasi.
Saat itu negara ini sedang mengalami keterpurukan, dollar jungkir balik dari 2600-an ke 15 ribuan rupiah, hutang bertambah dan diakhiri dengan demonstrasi "people power" mahasiswa, buruh, partai-partai anti pemerintah dan masyarakat luas, yang diakhiri dengan mundurnya presiden kedua RI tanggal 21 Mei 1998.
Mirip dengan kondisi Malaysia saat ini dengan hutang luar negeri setara 3500 trilyun rupiah dan skandal keuangan yang terjadi antara Perdana Menteri Malaysia terdahulu Najib Razak dan perusahaan 1Malaysia Development Berhad, yang membuat mantan perdana menteri Malaysia Mahathir turun gunung lagi sejak 2015 meminta pemimpin saat itu mundur dan memprakarsai beberapa demonstrasi besar bersih 4 dan bersih 5.
Mungkin kenangan indah tahun 1998 seolah "dejavu" melihat pemilu Malaysia tahun ini dan menginspirasi untuk pemilihan presiden tahun 2019, dengan asumsi kondisi saat ini sama parahnya dengan tahun 1997-1998 dan tahun 2015-2018 di Malaysia. Tidak hanya beliau, banyak politikus yang mengambil sikap oposisi juga memiliki keinginan sama, pemilu Malaysia berimbas ke pemilu presiden kita tahun depan.
Tetap dinamisnya dunia perpolitikan tanah air sampai 10 Agustus 2018 memungkinkan siapa yang maju pilpres 2019 menyaingi pertahana masih belum final. Kalau dibandingkan dengan pemilu di Malaysia, maka sejak 2017 disana sudah jelas Mahathir Mohamad yang akan menjadi perdana menteri kalau koalisinya menang, ini terjadi akibat "gagalnya" mereka memlih tokoh lain yang sanggup mengalahkan popularitas Najib Razak.Â
Selain itu skandal yang dilakukan Jokowi yang parahnya setara "1MDB" sepertinya tidak ada, mungkin pembagian sertifikat tanah yang "ngibul" , Jokowi dari "partai S**** dan bukan dari partai Allah", tenaga kerja Tiongkok, terakhir "tidak mau sowan kerumahnya", paling-paling itulah isu yang mau dijadikan momentum untuk menurunkan popularitas Jokowi, sementara itu tokoh yang mau "dikatrol" popularitasnya belum ada. Hutang kita yang 4000 trilyun, mungkin menarik untuk diungkapkan, tetapi sepertinya sudah ada beberapa penjelasan masuk akal dari pemerintah yang membuat menggorengnya kurang asyik lagi.
Kalau memang pak Amien Rais sekalian mau memanfaatkan momentum kemenangan Mahathir Mohamad untuk diterapkan di Indonesia, jangan ragu mengajukan diri jadi calon presiden alternatif, mengingat sama-sama sepuh (74 tahun, Mahathir malah 92 tahun) dan pernah menjadi ketua MPR 1999-2004, sementara Prabowo sendiripun sebenarnya belum pernah menjadi pemimpin di lembaga tinggi/tertinggi negara yang bersifat sipil. Siapa tahu, dengan waktu yang tersisa, kampanyenya dapat disesuaikan dengan pola dan warna kampanye mirip di Malaysia dan siapa tahu garis tangan pak Amien Rais mirip dengan Mahathir Mohamad, sehingga tujuannya memperbaiki "kebobrokan" pemerintah lama dan menyejahterakan rakyat dari Sabang sampai Merauke dengan lebih baik dapat terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H