"Pasang cincin jantung itu memang saat ini ditanggung 100 persen, Â Mbak. Â Tetapi pembuluh darah di jantung orang tuanya yang tersumbat ada 5 dan posisinya di percabangan, Â takutnya kalau dipaksakan pasang cincin, Â nanti hasilnya jelek." Saya jelaskan hasil kateterisasi jantung si Pasien wanita usia 60-an akhir yang 3 minggu lalu dirawat dengan serangan jantung.
Serangannya saat sehabis jalan-jalan dan nyeri dada hebat sebelah kiri menjalar ke lengan kiri, rekam jantungnya ada sumbatan yang luas. Lalu dirujuk ke rumah sakit tipe B untuk kateterisasi jantung, didapat hasil pembuluh darah tersumbatnya 5. Direncanakan stabilisaasi dulu dan pemasangan cincin jantungnya dilakukan di rumah sakit tipe A saja, karena tipe B tidak sanggup sampai 5 cincin, sanggupnya 1.Â
Namun setahu saya, rumah sakit tipe A juga mungkin hanya sanggup juga paling memasang 2-3 cincin ("stent"), karena pembiayaan asuransinya biasanya hanya cukup untuk itu. Asuransi yang berbeda ada yang memperbolehkan pasang 5, tetapi syarat dan ketentuan berlaku, yang biasanya membuat dokter yang bakal mengerjakan ragu mau memasangnya, takut kalau "term and conditionnya" tidak sesuai jadi urung dibayar.
Pengalaman dokter senior, guru Saya, pernah pasang cincin 6 buah di jantungnya di salah satu rumah sakit "ellite" di Jakarta yang dilakukan oleh dokter jantung intervensi yang paling dipercaya di Jakarta, tadinya jalan 100 meter saja sesak, sesudah dipasang 6 cincin malah bisa main tenis lapangan lagi. Waktu itu usianya 60 tahunan dan kurang lebih 8 tahun lalu. Walau dapat diskon karena sesama dokter, waktu itu beliau masih kena tarif 300-an juta rupiah. Si dokter senior saya ini sampai saat ini tetap praktek dan tetap olah raga.
Mungkin, tahun ini sesudah 8 tahun biayanya kalau mau 5-6 cincin di 500-an juta rupiah, untuk dilakukan ke seorang Pasien yang usianya sudah mendekati 70 tahun dan sudah pensiun. Apakah efektif dan efisien? Ini patut diperdebatkan, didiskusikan dan direnungkan mengingat harapan hidup manusia Indonesia mungkin saja bertambah nantinya.
Jadi, walaupun sebuah asuransi dapat saja menanggung sebuah tindakan intervensi seharga sampai beberapa ratus juta, apakah akan dikerjakan kalau azas manfaatnya hanya sekedar memperbaiki kualitas hidup?
Maka, di sebuah kasus dengan biaya sendiri, memang hak sepenuhnya Pasien dan keluarga untuk melakukan semua tindakan, selagi syaratnya dipenuhi. Tetapi kalau pasien asuransi, apapun itu, maka sebaiknya ada tim di Komite Medis Rumah Sakit yang mempertimbangkan kendali mutu dan kendali biaya, mengingat sumber daya rumah sakit terbatas dan pembiayaan asuransi juga biasanya ada batasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H