Mengikuti simposium atau workshopdi dunia medis tidak melulu penyegaran ilmu terkini secara teori dan penelitian-penelitian terbaru, tetapi juga mendapatkan semacam "kiek-kiek" atau pengalaman praktis sehari-hari para guru besar, konsultan yang terkadang belum disyahkan oleh sebuah penelitian yang baku, tetapi menjadi semacam pegangan untuk dipakai sebagai rambu-rambu di pelayanan sendiri.
Dalam Workshop Premix Insulindi Pertemuan Ilmiah Tahunan Penyakit Dalam Yogyakarta tanggal 23 Desember 2017, seorang pembicara menyatakan hal seperti judul diatas akibat banyaknya spesialis peyakit dalam di rumah sakit daerah mengeluhkan pengawasan gula darah pasien diabetes yang gagal obat makan 2 jenis dan mau disarankan pemakaian insulin. Satu data gula darah sewaktu saat kontrol sebulan sekali, terutama pasien BPJS Kesehatan dirasakan tidak memadai.
Pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah 1-2 jam sesudah makan saja sudah biayanya 2 kali lipat, apalagi harus pemeriksaan gula darah 3 bulan yang mengganggu sel darah merah (HBA1C) yang harganya lebih mahal lagi, ini sangat memberatkan rumah sakit rujukan, walaupun katanya di PUSKESMAS dan dokter keluarga pemeriksaan ini dapat ditagihkan terpisah dari kapitasi secara periodik, untuk pasien yang sudah mendapatkan buku PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis).
Terkadang ada PUSKESMAS/dokter keluarga memberikan pasiennya pemeriksaan lumayan lengkap, kolesterol, gula darah puasa dan 2 jam sesudah makan serta HBA1C setahun sekali di laboratorium daerah dan selanjutnya meminta konsultasi lanjutan ke rumah sakit tetapi ada yang tidak, ini memperlihatkan sosialisasi pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan di tingkat primer belum semua pelayanan primer memahami, terutama kalau banyak dokter barunya yang bertugas di praktek.
Salah satu pembicara di kursus ini menyatakan pengalaman kliniknya, bahwa sebagian besar pasien yang setuju memakai insulin secara sukarela memeriksakan gula darahnya secara mandiri di apotik-apotik atau malah punya alat tes gula darah sendiri. Bagi pasien yang kurang mampu, biasanya sudah angkat tangan dan tidak mau disuntik insulin karena resiko gula darah terlalu rendah (hipoglikemia) yang dapat terjadi lebih berbahaya kalau tidak terdeteksi. Terkadang pasien dipikir tidur biasa, padahal ternyata gulanya sangat rendah dan dia tidak bangun-bangun lagi.
Sementara saat kita tidur, misalnya pukul 9 malam sampai 6 pagi, tidak ada makanan masuk saat itu, maka cadangan glikogen di hati biasanya dipecah menjadi glukosa dan inilah yang meningkatkan gula darah puasa.
Penggabungan dua jenis insulin ini dari beberapa penelitian membuktikan komplikasi dapat dikurangi di jantung, ginjal, mata, otak asal dimonitoring (diawasi dengan baik) terutama kalau mau diberikan secara intensif.
Jadi, komunikasi dengan pasien diabetes melitus yang perlu insulin sangat penting, jangan karena beliau-beliau pasien BPJS Kesehatan maka pemeriksaan gula darahnya tidak dikasih tahu idealnya bagaimana dan realitanya yang dapat dilakukan apa dan sarankan mereka kontrol secara mandiri 3x sehari bila perlu dan catatan naik turunnya gula darah harap dibawa saat praktek.Â
Karena hampir semua peserta kursus mengungkapkan, ketika seorang pasien terdiagnosis diabetes melitus, maka sudah pada tahap ada komplikasi yang berat. Si pasien sudah gagal ginjal dahulu, serangan jantung dahulu, stroke dahulu, impoten dahulu, kaki membusuk dahulu, barulah kemudian ketahuan gula darahnya tinggi sekali. Dan gula darah tinggi ini ujung-ujungnya perlu insulin dan kalau sudah pakai insulin pemeriksaan gula darahnya jangan sampai tidak teratur.