"Operasinya kapan, bu?"Tanya saya pada pasien 30-an tahun yang tegak diagnosis gastrointestinal stromal tumor (GIST)Â yang ganas. Kanker ini tumbuh di saluran cerna, dari sel-sel penyanggah organ tubuh yang disebut masenkim.
"Setahun yang lalu, dok. Ada benjolan di perut, sekitar rahim dan indung telur, nyeri lalu disarankan operasi. Nah waktu diangkat, ternyata rahim dan indung telurnya bentuk normal, tetapi ada jaringan ikat yang membesar dan menyatukan rahim dan indung telur dengan usus di sekitarnya. Operasinya harus memanggil dokter bedah umum juga, karena memotong dan menjahit usus, bukanlah kompetensi dokter kebidanan dan penyakit kandungan."Cerita si ibu.
Lalu lanjutnya, jaringan yang didapat dari operasi diperiksa patologi anatomi dan didapat kesimpulan GIST yang ganas dan perlu obat anti kanker seumur hidup. Obat ini dapat mengendalikan enzim-enzim yang tak terkendali di saluran cerna yang membuat jaringan ikat yang tadinya berkembang sesuai kebutuhan, menjadi diluar kendali.
"Iya, dok. Anak saya sudah dua. Makanya saya heran kalau kemarin didiagnosis tumor rahim, padahal saya melahirkan dua kali tidak ada masalah."Jawabnya.
Mungkin memang beberapa tahun lalu kanker ini tidak berkembang dan baru membuat gejala nyeri sebelum dioperasi. Kalau diperiksa melalui CT scan atau ultrasonografi (USG) dapat dijumpai massa di sekitar organ cerna. Namun diagnosis GIST baru bisa ditegakkan kalau sudah diambil jaringan kankernya dan diperiksa imunohistokimia, dimana jaringan tumor diwarnai zat khusus yang dapat membuat reaksi pewarnaan 'marker' yang dapat dihitung persentasinya seperti digambar atas.
Faktor resikonya belum terlalu jelas, karena kasus ini sendiri jarang, hanya kurang 5% dari semua kanker di saluran cerna, tetapi ada dugaan makan yang terlalu panas dapat memicu, mengingat kasusnya sering di Jepang dan Cina.
Si ibu lalu saya rujuk ke konsultan hematologi dan onkologi di rumah sakit pendidikan tipe A, karena obat kanker jenis ini hanya dapat diberikan oleh konsultan tersebut dengan biaya penuh BPJS Kesehatan. Obatnya sejenis penghambat protein tyrosine -kinase yang harganya sebutir dua ratusan ribu. Kalau membeli sendiri, wah lumayan menguras kantong.
Nah, kalau sudah perlu obat 200 ribu sehari selama seumur hidup dan kalau kelas 3 BPJS hanya bayar 25.500 sebulan, apakah masih mau bilang rugi ikut BPJS? Dan kalau ternyata tidak perlu makan obat apapun karena sehat-sehat saja, anggaplah iuran yang dibayar bulanan itu sebagai 'sedekah' atau bantuan gotong royong si sehat bagi yang sakit seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H