"Dok, saya minta dironsen, periksa kolesterol, asam urat, periksa jantung dan sekalian konsul ke dokter mata karena kabur." Kata pasien ibu-ibu usia 60 tahunan awal saat berobat, dia menunjukkan rujukannya dari PUSKESMAS yang 3 jam perjalanan dari kota Palembang yang setahu saya fasilitas kesehatannya cukup lengkap dan dokter umum yang bertugas disana cukup senior.
"Lho, kenapa ibu tidak dicetakkan surat eligibilitasnya, SEP?" Tanya saya, karena walaupun membawa rujukan BPJS Kesehatan, si pasien hanya disertakan status pasien baru, resep kosong biasa, bukan resep khusus BPJS yang biasanya ada.
"Saya juga tidak mengerti, dok. Kata petugas pendaftaran di depan saya harus bayar biasa, karena rujukan saya ada masalah. Coba dokter buat pemeriksaan yang lengkap dahululah, nanti saya urus rujukannya belakangan..." Katanya kesal.
Karena kasihan si ibu ini harus bayar semua pemeriksaan sampai ratusan ribu dan kembali ke PUSKESMAS pasti tidak terkejar lagi, saya menyempatkan bertanya ke bagian pendaftaran, apa masalahnya.
"Di diagnosisnya ada tambahan 'APS', dok. Artinya si pasien dianggap bisa diobati di PUSKESMAS, namun dia meminta sendiri ke rumah sakit, kasarnya memaksa minta rujukan, itu tidak dibayar." Jawab si petugas.
Lalu sayapun menjelaskan bahwa kondisinya sedemikian dan memeriksanya, lalu membuat surat ke PUSKESMAS bahwa si pasien memang perlu pemeriksaan penunjang untuk keluhan vertigonya, berupa pemeriksaan tulang leher. Si pasien diberikan obat generik untuk 3-5 hari dan disarankan minta rujukan baru dengan wanti-wanti tanpa 3 huruf berbahaya tadi: A-P-S (atas permintaan sendiri).
Untung petugas registrasi cukup jeli membaca 3 huruf itu, karena kalau dilayani, diperiksa ini-itu dan diberi obat, ternyata 'APS', maka sudah pasti tidak dibayarkan. Di satu sisi si pasien seharusnya tahu bahwa memaksa sesuatu pelayanan dan dibuat APS, maka dia harus membayar sendiri pelayanan itu dan di lain pihak, fasilitas kesehatan lanjutan pun harus hati-hati dengan ketiga huruf tadi, karena bisa jadi pelayanannya menjadi 'misi sosial 100%' yang tidak dibayar.
Untuk itu, baik pasien maupun fasilitas kesehatan primer sebaiknya berkomunikasi dengan baik, bagaimana harapan pelayanan yang diinginkan pasien dengan kewajiban pihak fasilitas kesehatan pertama mengatasi penyakit yang dianggap bisa selesai disana. Bila penyakitnya sederhana, tidak komplikasi namun karena si pasien sudah terbiasa berobat ke spesialis, konsultan bahkan profesor, maka si pasien harus rela berobat secara 'APS', karena sistem BPJS Kesehatan tidak memandang kebiasaan berobat si pasien sebelumnya, namun melihat diagnosisnya apakah sederhana atau tidak.
Rumah sakit pun seharusnya memiliki bagian pendaftaran yang jeli melihat kode-kode atau huruf-huruf yang terlihat sederhana, namun kalau 'bablas' beresiko merugikan institusinya ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Untuk tahun ini yang 'trend' adalah huruf 'APS', entah tahun depan. Yang pasti tetap ikuti semua aturan baru dan kesepakatan baru, pasti aman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H