Ada dua kata kunci dalam tulisan saya kali ini, yaitu: mau dan profesional.
Mau atau bersedia adalah sebuah komitmen untuk melayani pasien BPJSK. Seharusnya mau ini tanpa syarat, tetapi kalaupun ada syarat, sebaiknya itu bersifat arif misalnya menolak diatur-atur obat dan tindakan atau disuruh melakukan 'fraud' atau kecurangan.
Profesional adalah, kemampuan melayani pasien BPJSK dengan efektif dan efisien, sesuai standar yang berlaku namun dimungkinkan penyesuaian dengan kaidah-kaidah yang ada di 'coding', kaidah 'ina-CBG's', serta 'ICD 10'.
Profesional ini pula kalau dibandingkan dengan pemain sepak bola 'pro', maka dia bekerja sudah jelas pola pembayarannya. Apakah berdasarkan persentase paket Ina-CBG's, misalnya 20 persen dari paket, apakah sesuai volume kerja, misalnya visite 2 hari atau 20 hari untuk 1 kasus, atau pembayaran jasa medisnya 'terserah' manajemen, dengan harapan suatu saat dapat jabatan di struktural (kalau dokter rewel biasanya tidak akan pernah diangkat jadi apa-apa).
Nah, bisa saja suatu saat, dokter X yang sangat bagus pelayannya, misalnya 1000 pasien dirawatnya sembuh semua tiap bulan dan dia sangat efisien, rumah sakit A untung 100 juta perbulan dari efisiensinya memilih obat dan pemeriksaan penunjang, diincar oleh rumah sakit B dan ditawari pindah dengan jasa medis yang lebih besar.
Atau kalau ada dokter Y, pelayanannya jelek, di rumah sakit C, dari 1000 pasien, 500 orang kondisinya saat keluar rumah sakit jelek, meninggal atau masih banyak keluhan, ditambah lagi 'boros' obat dan pemeriksaan penunjang, sehingga rumah sakit rugi 100 juta sebulan, maka si dokter ini akan 'dilepaskan' dari rumah sakit. Dia melamar ke rumah sakit lainpun akan sulit diterima.
Mirip klub sepak bola, rumah sakit akan memproteksi dokter-dokter dengan 'skill ber-BPJS efektif dan efisien' ini dengan jasa medis tinggi, kalau tidak si dokter akan bertransfer-ria ke rumah sakit lainnya.
Rumah sakit yang tidak membayar jasa medis 'cucok' hanya akan memiliki dokter-dokter yang tidak diminati rumah sakit lain dengan berbagai alasan, atau memang loyal disana mengharapkan sesuatu selain jasa medik, misalnya promosi jabatan.
Mungkin ini terkesan 'ekstrim', tetapi memang ujung-ujungnya cara membuat dokter profesional nyaman dengan profesinya adalah jasa medis yang layak. Maka perlu dipikirkan adanya 'keleluasaan' regulasi dokter yang diburu rumah sakit karena bak 'striker top score' untuk berpindah 'klub' ke tempat yang lebih menjanjikan.
Dilain pihak, rumah sakit-rumah sakit yang ditinggalkan oleh 'pemain-pemain incaran' dan yang tersisa hanya 'pemain cadangan', sebaiknya membenahi diri, kalau tidak akan jatuh ke jurang degradasi, kembali menjadi klinik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H