[caption caption="banner my diary dari FB fiksiana community"][/caption]
My diary, mungkin 'curhat' disini lebih 'etis' dan elok, daripada aku ngomel-ngomel di media sosial lain, di grup para dokter atau di grup para pembenci asuransi kesehatan ('you know-lah')...
Semua ini karena tulisanku di Kompasiana 2 April 2016 lalu yang seolah 'membela' sebuah asuransi kesehatan yang menurutku 'enggak jelek-jelek amat' dan tidak merugikanku serta rumah sakitku. Semua langkah-langkah 'konkrit' yang kami lakukan untuk bertahan di era global jaman sekarang kupaparkan gamblang yang membuat semua mata dokter-dokter lain terbuka, bahwa asuransi yang katanya jelek diisukan itu ternyata cukup 'fair' dalam membayar.
Beberapa dokter yang tidak suka banyak yang langsung 'menyindir' aku penjilat, ingin disebut pahlawan, ingin dapat posisi tertentu, ingin ini atau itu, padahal sebenarnya tidak. Karena sebagai dokter swasta di rumah sakit swasta, maka posisi sebenarnya tidak penting, yang penting aku ada jam praktek dan pasiennya tidak dibatasi. Intinya selagi masih sanggup mengobati, pasiennya boleh terus berobat.
Gajiku pun tidak ada urusan dengan tunjangan jabatan tertentu kalau sering-sering 'menjilat' si asuransi, karena sebenarnya tanpa asuransi itupun, pasienku sudah lumayan cukup, tetapi memang menjadi 3 kali lipat sejak asuransi itu ada.
Sebenarnya, teman sejawat lain agak 'keberatan' dengan penngakuan, bahwa pendapatanku meningkat sejak rumah sakit ikut asuransi itu dan tidak mau ikut-ikutan menyalahkan si asuransi atas ketidakadilan-ketidakadilan pembayaran jasa medis yang dirasakan teman-teman sejawat lainnya.
Memang masalahnya sebenarnya terletak di manajemen rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang ikut asuransi itu, ternyata tidak jelas membagi 'gaji' para dokter.Aku tahu, di banyak tempat, di berbagai pelosok ada dokter yang operasi puluhan pasien perbulan, hanya dibayar 'selayaknya' 1 pasien yang bayar sendiri tanpa asuransi 'itu'. Sementara di rumah sakit lain, termasuk rumah sakitku, setiap konsultasi atau tindakan, dibayar 'layak' per-kasus sesuai dengan tarif 'paketnya'.
Jadi, ketidakadilan penggajian di tingkat rumah sakit dan fasilitas kesehatan mereka yang kebetulan banyak sekali terjadi dianggap akibat kebijakan si asuransi secara keseluruhan, padahal itu kebijakan internal tiap fasilitas kesehatan.
Maksud tulisanku itu sebenarnya sederhana, perbaikilah dahulu, benahi, 'berdemolah' dahulu di tempat kerja mereka masing-masing, sesuai dengan langkah-langkah yang sudah kujabarkan di tulisan itu, buatlah pembagian jasa medis yang transparan di tempat masing-masing, kalau sudah dilakukan dan adil, maka kesalahan lain yang terjadi bisa dianggap dari si asuransi.
Hal lain yang mungkin perlu dipertimbangkan teman-teman dokter sekalian, terutama spesialis, adalah aku hanya berkonsentrasi bekerja di satu rumah sakit, 8-10 jam sehari saya disana, secara otomatis, pasien gawat yang ada di jam itu sesuai spesialisasiku akan diberikan kepadaku. Sementara teman sejawat lain yang bekerja di 3 bahkan mungkin lebih dari 3 rumah sakit, kemungkinan hanya bisa 2-3 jam di satu tempat dan 'volume' kerjanya pun akan banyak terbuang akibat waktu yang terbuang berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain yang memakan waktu setengah sampai 1 jam. Apalagi di Palembang sekarang sedang dibangun 'LRT' yang lumayan membuat macet.
Jadi, salah satu cara seorang dokter mau ikut rumah sakit yang ikut asuransi itu dan 'tercukupi' adalah, sesegera mungkin mencari satu dari 3 atau lebih rumah sakit yang dilayaninya selama ini dengan pola penggajian yang paling 'fair' dan berkonsentrasilah total di sana. Rumah sakit yang pembayarannya tidak memuaskan tinggalkan saja. Dengan demikian, semua rumah sakit yang 'main-main' dalam membagi jasa dokter akan kesulitan melayani, akibat ditinggalkan para spesialisnya.