Mohon tunggu...
Posma Ramos Simanjuntak
Posma Ramos Simanjuntak Mohon Tunggu... -

Seorang yang membentuk komunitas Awaken Spirit.......

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar dari Man of Steel

16 Juni 2013   11:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:57 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film Man of Steel baru saja ditayangkan di beberapa bioskop di ibukota. Film dengan konten lama ini kembali digarap dalam ‘bungkus’ yang baru. Salah satunya adalah tidak dieksplornya hubungan emosi antara Clark Kent dengan Lois Lane. Namun, dalam film ini ada beberapa hal yang sebenarnya menjadi dilemma yang harus dihadapi oleh Superman. Dilemma pertama adalah bagaimana dirinya sewaktu kecil harus bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkan jati dirinya sebagai manusia baja kepada teman-temannya yang cenderung untuk mengolok-olok dirinya sebagai anak yang kaku. Sikap menahan dirinya itu muncul ketika sang ayah yang diperankan Kevin Costner menasihatinya untuk menahan diri untuk menunjukkan kekuatan supernya itu. Dalam dialog itu bahkan ditunjukkan untuk menahan diri itu perlu dilakukan walau harus ada korban yang jatuh. Alasannya adalah karena dunia belum siap menerima Kent yang berbeda.

Dalam tulisan ini saya bukan hendak membuat synopsis. Tapi saya tersentuh kepada sikap Kent sewaktu kecil untuk tetap sabar tidak menunjukkan jati dirinya sebagai orang super. Dia harus melihat timing yang tepat dalam melakukannya. Walaupun dia sendiri tidak tahu kapan timing itu datang padanya. Dan pergulatan itu terus muncul sampai ia dewasa. Kesabaran memang menjadi kunci yang mau ditunjukkan dalam film ini. Kesabaran yang datang dari dorongan dan nasehat ayah angkatnya. Kesabaran itu ditunjukkan dengan dirinya yang harus menanggung olok-olok dari teman sebayanya. Yang mungkin tidak sadar, jika Kent kecil mau, hanya dengan sekali tonjok saja, teman-teman yang mengolok-oloknya itu bisa KO. Walaupun sampai ia besar, pergulatan tentang kesabaran itu muncul terus. Bahkan berdampak membawa dilemma antara bela rasa kepada umat manusia atau menolong manusia tapi ditolak oleh manusia itu sendiri.

diunduh dari Leviathyn.com

Tampaknya gambaran yang ada pada diri Superman ini dapat menjadi contoh bagi petinggi negri ini. Coba bayangkan, baru beberapa waktu lalu sang petinggi menerima penghargaan sebagai negarawan yang berhasil mendukung terjadinya toleransi dan penegakan HAM. Dan ketika dalam acara Pesta Kesenian di Bali beberapa hari lalu, sang petinggi dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia menghargai perbedaan. Sekaligus menekankan Indonesia menolak segala bentuk kekerasan.

Penghargaan yang diterima sang petinggi serta pernyataan dalam Pesta Keseniaan itu sepertinya selaras, sebangun dan saling mendukung. Tapi dalam realita yang ada, tanpa banyak perlu menunjukkan contoh, antara penghargaan yang diterima dengan pernyataan itu sepertinya jauh panggang dari api. Sesuatu yang tidak sebangun, sejalan dan saling mendukung.

Kelihatannya sang petinggi tidak sabar untuk mendapatkan penghargaan yang menempatkan dirinya sebagai tokoh atau negarawan dunia. Siapa yang tidak ingin dihargai? Semua orang menginginkannya. Mulai dari anak-anak sampai orang tua tetap menginginkannya. Dalam ilmu psikologi, penghargaan merupakan kebutuhan dasar dari setiap orang agar dirinya dapat tumbuh secara sehat secara kejiwaan. Namun, masalahnya adalah penghargaan yang sehat itu adalah penghargaan yang berasal dari penghargaan terhadap diri seseorang sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat. Atau penghargaan yang dinilai dari prestasi yang diperolehnya.

Tapi sepertinya penghargaan itu tidak sesuai dengan prestasi yang diperolehnya. Karena bukan hanya saya saja sebagai rakyat biasa yang menilai hal itu tidak sesuai. Sudah banyak tokoh-tokoh negri ini yang mengungkapkan agar sang petinggi menolak penghargaan itu. Bahkan seorang tokoh negara ini mengirimkan surat protes kepada pantia penyelenggara untuk membatalkan penyerahan penghargaan itu.  Tapi nyatanya hal itu ditepis dengan merasionalisasi segala hal.

Makanya lewat tulisan ini, saya mengharapkan sang petinggi belajar untuk bersabar seperti yang telah dilakukan Clark Kent dalam hidupnya. Kesabaran itu bisa saja membuat tidak bisa tidur. Kesabaran itu bisa saja membuat kurangnya merasa terkenal di antara para petinggi di dunia ini. Kesabaran itu bisa saja membuat pihak lain yang menyelenggarakan tidak merasa dihargai. Intinya, kesabaran itu bisa membuat sang petinggi masuk ke dalam sebuah dilemma. Walau masuk ke dalam dilemma, kesabaran itu pasti berbuah manis pada waktunya. Kesabaran itu dapat menjernihkan paradigm terhadap sesuatu hal termasuk keinginan untuk mendapat poin plus di hadapan banyak orang. Menjernihkan hati nurani, seperti melihat air yang jernih yang memperlihatkan apa saja yang ada di dalam air tersebut. Kesabaran itu pun sebenarnya mendapat penghargaan yang tinggi dari rakyat yang dipimpin. Justru memperlihatkan bahwa dirinya lebih memperhatikan keinginan rakyatnya, bukan partainya saja. Rakyat melihat bahwa sang petinggi sadar ada hal yang lebih penting yang harus dibenahi di tengah bangsa ini. Dari pada harus mendapat penghargaan tapi  justru membuat rakyat bertanya, apa sebenarnya yang dimaksud sang petinggi bahwa dirinya mendukung toleransi dan penegakan HAM?

Ah, kiranya sang petinggi mau belajar seperti Superman dalam soal kesabaran menahan dirinya, tentu rakyat akan mencap sang petinggi menjadi manusia baja yang memang siap untuk menegakkan toleransi dan HAM itu…..seandainya…..

Love U my dear

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun