Mohon tunggu...
Johnson K.S. Dongoran
Johnson K.S. Dongoran Mohon Tunggu... -

Lahir dalam keluarga Kristen dari suku Batak di Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masih muda merantau di Pulau Jawa. menikah dengan gadis Bali dan dikaruniai tiga orang anak. Kini bekerja sebagai dosen di UKSW dan tinggal di kota Salatiga. Prinsip hidup pribadi: Setiap hari ergaul akrab denan Tuhan; menambah dan memperkental persahabatan dengan sesama; menambah ilmu dan keterampilan; menghasilkan sesuatu yang berguna bagi banyak orang; berkeringat; bekerja berdasarkan prioritas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menuju Pintu Sorga

30 Januari 2014   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:19 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Johnson Dongoran

Beberapa minggu lalu aku diminta teman-teman untuk membuat dan sekaligus menggandakan alamat anggota parsahutaon (teman sekampung) yang berasal dari satu kecamatan di bona pasogit (kampung halaman). Sudah tiga minggu aku belum melakukannya karena kesibukan lain. Karena terus kepikiran, akhirnya terbawa ke dalam mimpi.

Suatu sore di ruang makan rumah kami, aku mau mengetik alamat tersebut di secarik kertas, disaksikan oleh dongantubu (semarga) yang berkunjung dari kota lain. Ia berkomentar: “Di zaman modern seperti sekarang ini, masih memakai mesin ketik?”. Aku menjawabnya: “Toh sedikit. Daripada hidupkan komputer”. Namun ketika ia lihat aku mau memakai karbon, ia melarangku. “Biar kufotocopy nanti”, katanya. Ketika aku mulai menekan tuth huruf A ternyata mesin ketik tuaku sudah tidak berfungsi lagi karena karatan. Akhirnya kami putuskan untuk menggunakan komputer. Ketika mesin ketik tuaku kukembalikan ke tempat semula, kudengar suara istriku memintaku membantunya memperbaiki listrik. Aku menemui istriku dan membantunya. Ketika itulah terjadi sesuatu yang tidak pernah kami perkirakan sebelumnya. Aku dan istriku disengat listrik hingga pingsan. Aku tidak tahu berapa lama aku dan istriku pingsan, tetapi selama pingsan, aku dan istriku mengalami suatu pengalaman rohani, yang tidak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.

Di suatu pagi yang sejuk, matahari belum menampakkan sinar namun sudah cukup terang untuk mengenali wajah orang dari dekat, aku dan istriku berpakaian jubah putih berada di kerumunan orang banyak, yang juga berpakaian putih-putih seperti yang kami berdua pakai. Aku memperhatikan sebagian besar wajah ceria seperti kami berdua, walau ada juga wajah yang tampak kebingungan, murung dan bahkan bringas. Aku melihat di tengah kerumunan ada satu tugu besar berwarna hitam, dan begitu banyak persimpangan jalan bertemu pada tugu di mana kerumunan berada. Aku dan istriku diminta seorang malaikat untuk menempuh salah satu jalan dari begitu banyak jalan yang tersedia. “Dalam dua jam, kalian akan sampai di pintu sorga”, katanya. Aku dan istriku berjalan dengan suka cita sambil bergandengan tangan. Ada banyak orang yang berjalan bersama kami melalui jalan yang sama. Aku sempat mendengar malaikat tadi berkata pada orang lain untuk menempuh jalan yang berbeda dari jalan yang kami tempuh. Ada yang butuh waktu lima jam, dua hari, lima hari, lima minggu, lima bulan bahkan sempat aku dengar butuh waktu perjalanan lima tahun. “Seperti apa jalan yang mereka lalui”, pikirku, yang kemudian kuungkapkan pada istriku. “Untuk apa memikirkan perjalanan orang lain. Perjalanan ini menyenangkan. Nikmati perjalanan indah ini”, kata istriku.

Aku memperhatikan bahwa sepanjang perjalanan kami, kehidupan orang sama dengan kehidupan di dunia ini pada umumnya. Bedanya adalah, kehidupan sepanjang perjalanan kami sungguh damai dan nyaman, dan tidak dibisingkan oleh deru mesin otomotif. Tidak jauh dari tugu persimpangan tadi, kami memasuki dan melalui areal pertokoan. Kiri kanan jalan penuh toko aneka jualan barang, terutama sandang dan pangan. Kedua sisi toko disatukan atap yang terhubung dari sisi jalan yang satu ke sisi yang lain. Tidak ada kesan baru, tetapi bersih dan terang-benderang dengan suasana damai. Orang berbelanja seperti biasa, dan istriku sempat membeli sebuah cincin indah. Kami juga melewati pasar buah-buahan dan aneka bunga indah, kemudian melewati tempat menjual ikan dan daging, yang semuanya bersuasana damai dan bersih, tidak ada bau amis sama sekali. Sangat menyenangkan melewati areal pertokoan tersebut.

Setelah melewati pertokoan, kami melewati pedesaan. Matahari pagi sudah memancarkan sinar hangat dan indah. Di kiri kanan jalan, kami menikmati pemandangan indah dan luas berupa persawahan subur. Kami juga melewati perbukitan dan sejumlah panorama yang sangat menakjubkan. Langit cerah kebiru-biruan dihiasi awan tipis berwarna putih. Aku belum pernah melihat pemandangan indah seperti yang kami nikmati dalam perjalanan ini. Tidak henti-hentinya aku berdecak kagum atas keindahan alam yang kami lewati. Aku memperhatikan bahwa istriku juga sangat menikmati perjalanan kami. Kami tidak banyak bicara, tetapi kami sama-sama menikmati perjalanan kami, yang tidak sedikit pun terusik oleh kendaraan.

Tidak terasa, dua jam sudah kami habiskan menempuh perjalanan baru dan sangat menyenangkan. Kami sampai di satu kerumunan orang banyak di seberang pintu sorga. Antara tempat kerumunan dengan pintu sorga, terbentang sebuah sungai jernih dan bening, yang di kedua sisinya penuh ditumbuhi bunga-bunga indah. Di tempat kerumunan ini, kembali bertemu berbagai jalan seperti ketika kami awali perjalanan kami dua jam sebelumnya. Semua wajah orang di tempat ini ceria, tidak ada lagi yang bingung dan murung serta bringas seperti sebelumnya. Aku dan istriku tersenyum merasa puas sampai di tempat ini. Aku juga melihat dan memperhatikan wajah-wajah lain yang begitu ramah dan memancarkan cinta kasih seperti sedang menikmati kepuasan yang tidak tertarakan.

Aku dan istriku kemudian meninggalkan kerumunan berjalan menuju pintu sorga melewati sebuah jembatan di atas sungai indah tadi. Di pintu sorga kami disambut ramah oleh murid Yesus yaitu Simon Petrus. Dari pintu tersebut, Petrus menunjukkan kepada kami betapa nyaman berada dan hidup di dalam sorga. Kami menikmati suasana yang menyenangkan dan membahagiakan, yang tidak dapat aku gambarkan dengan kata-kata. Kenikmatan tersebut tidak lama, karena kemudian Petrus dengan lembut berkata kepada kami: “Nak. Belum waktunya bagi kalian untuk masuk di sini. Pulanglah. Didik anak-anak dengan baik di dalam Tuhan agar hidup mereka sejahtera di dunia, dan pada saatnya nanti, kita bersama-sama dengan anak-anak berada di tempat ini memuji dan memuliakan Tuhan”. Aku dan istriku saling berpandangan dan pulang dengan hati senang dan gembira, dengan tugas yang jelas: “mendidik anak-anak kami dengan baik di dalam Tuhan”. Terima kasih Tuhan untuk pengalaman indah menuju pintu sorga, yang aku anggap sebagai peringatan dariMu bagiku dan bagi istriku serta bagi semua orang percaya yang membaca tulisan ini. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun