[caption id="attachment_70266" align="alignright" width="182" caption="Amplop khas tahun baru Imlek (koleksi pribadi)"][/caption] Hari itu Minggu, 7 Februari 2010. Saya dan istri ke rumah mertua (orang tua istriku) untuk merayakan sembayangan, yang biasa dilakukan semua orang Tionghoa 7 hari sebelum imlek. Saya bisa ikutan karena istriku berasal dari etnis Tiong hoa.
Berbagai persiapan sudah dilakukan Mama (mertuaku). Hio, abu dan wadahnya, berlembar-lembar uang kertas, aneka buah-buahan, makanan kue-kuean termasuk kue keranjang (dodol Cinta), dan aneka daging sudah siap di meja sembahyang di rumah mama. Semuanya untuk keperluan sembayangan Imlek.
Selanjutnya sembahyang dimulai. Masing-masing memegang hio sejumlah tiga buah. Tiap anggota keluarga harus melakukan sembahyang, dimulai dari yang tertua hingga yang termuda. Dimulai dari mama dan saudara yang paling tua hingga ke anak dan cucu dari mama. Hio dinyalakan, lalu dihadapan meja tempat sajian itu, kita berdoa sambil memegang dan menggoyang naik turun hio bernyala itu. Setelah itu para pria membakar uang kertas (bukan uang benaran, tetapi uang-uangan dari kertas dengan nilai besar) sebagai pemberian kegembiraan kepada para leluhur.
Saya sebagai orang Batak dan beragama Katolik, yang punyai istri dari etnis Tionghoa ikut merasakan suasana imlek alias tahun baru Cina yang ke 2561 ini. Menurut istri saya, arti sembahyang ini adalah suasana gembira dan bersyukur. Melalui sembahyang , kita bersama leluhur ikut bergembira seraya mohon doa agar di tahun baru nanti didoakan supaya mendapat rejeki dan kebahagiaan keluarga.
Saya memang belum memahami budaya mereka secara mendalam, namun perbedaan budaya ini membuat saya merasakan keindahan hidup bersama dalam keberbedaan. Saya bisa hidup bersama mereka tanpa kehilangan ke-batak-an dan kekatolikan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H