Saya tidak pintar. Saya juga tidak terlalu mengerti atau peduli dengan pilkada Jakarta kali ini. Saya dalam diam turut membaca tulisan-tulisan dan ketikan kawan maupun figur-figur asing di linimasa media sosial saya. Saya baca dan saya coba pahami. Namun tidak terlalu saya ambil pusing. Toh, ini bukan urusan saya. Saya tidak memiliki KTP Jakarta.
Saya hanya menumpang hidup dan mencari nafkah di ibu kota. Hingga kemudian perdebatan pemilihan kepala daerah (Ya, daerah) ini menjadi ajang pertarungan ideologi di tingkat nasional. Saya tidak paham. Namun saya, sebagai manusia yang diberi akal pikiran oleh Allah, tidak juga lepas dari turut melihat, menerka dan diam-diam turut berpendapat mengenai apakah yang sedang terjadi di ibu kota tercinta ini. Analisa dangkal saya: Nampaknya terdapat beberapa kesalahpahaman dan ketidaksinkronan pada debat pilkada kali ini.
Satu pihak ingin memastikan bahwa seseorang yang dianggap sebagai penista agama mereka dapat dikawal penyelesaian hukumnya. Hal ini dapat dipahami. Saya paham. Bagaimana tidak? Saya seorang muslim. Saya paham bahwa apa yang dilakukan Bapak Ahok tersebut memang tidak bisa dibenarkan. Tapi saya juga paham, bahwa mungkin itu salah ucap.
Mungkin Pak Ahok tidak berniat. Mungkin hal tersebut meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa niatan buruk. Lagipula, siapa yang bisa paham hati seseorang selain Tuhan? Itu juga apabila anda percaya dengan Tuhan. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kata yang sudah diucapkan tidak bisa ditarik kembali. Dan sebagai konsekuensi Pak Ahok memang harus melalui proses hukum selayaknya Warga Negara Indonesia patuh hukum. Pak Ahok juga sudah meminta maaf. Saya pribadi sakit hati, namun saya memafkan.
Saya tahu manusia tidak sempurna, tempatnya salah dan lupa. Lupa kalau kita diciptakan beragam-ragam. Lupa kalau saya dan anda berbeda. Lupa kalau saya bisa memaafkan, belum tentu umat muslim lainnya juga bisa. Maka dari itu, saya paham bahwa proses hukum itu harus tetap berlanjut, selain bersyukur dan berterima kasih karena Pak Ahok bersedia mengakui kesalahannya.
Terlepas dari semua itu, saya juga tidak bisa menghindar dari prasangka (semoga saya salah dan semoga Allah SWT mengampuni saya atas prasangka buruk saya ini) bahwa isu ini juga ditunggangi oleh aktor-aktor yang tidak sedang menegakkan kebenaran, tapi mencari kekuasaan.
Lain cerita dengan kubu Pak Ahok. Mereka bergerak serentak mecoba melawan apa yang disebut media sebagai “kaum mayoritas”. Bagi mereka, pilkada kali ini bukan hanya memilih pemimpin, tapi sebagai aksi resistensi terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini. Mereka tidak salah, saya paham. Saya muslim.
Saya merupakan satu dari jutaan, puluhan, bahkan ratusan juta kaum mayoritas di Indonesia. Yang tidak ambil pusing melihat ribuan, puluhan ribu, orang berbaris menggunakan baju serba putih di jalanan, mengumandangkan takbir dan panggilan agung lainnya. Sebagai penguat mereka. Sebagai identitas.
Saya tidak ambil pusing karena saya tahu, saya pasti aman. Saya bagian dari mereka. Namun tidak demikian dengan teman-teman minoritas saya. Mereka takut. Mereka gusar. Mereka tidak paham mengapa untuk menunjukkan solidaritas, begitu banyak orang harus turun ke jalanan, menggunakan atribut keagamaan. Mereka merasa asing. Mereka minoritas. Mereka takut. Saya paham. Saya sendiri pernah merasakan takut karena menjadi minoritas di negara orang.
Saya takut ketika orang lain melihat ke arah saya dengan pandangan yang sulit diartikan, karena saya menggunakan pakaian yang tidak umum. Saya takut ketika terjadi peristiwa teror di berbagai tempat dan mayoritas dilakukan oleh kaum muslim, menurut media. Saya takut mereka mengira saya bagian dari apa yang mereka sebut teroris. Kala itu saya akhirnya merasakan bagaimana menjadi minoritas. Saya berbeda.
Oleh karena itu saya paham. Saya paham perasaan kawan-kawan minoritas saya yang seperti berada di tengah-tengah kepungan mayoritas. Tujuan dari solidaritas tersebut baik, saya paham. Mereka juga tidak berniat menyakiti dan merendahkan kaum minoritas, saya paham. Namun saya juga paham mengapa kawan minoritas saya takut, karena aksi solidaritas tersebut semakin memperjelas garis perbedaan antara mereka dengan kaum minoritas.