Aku ingin sekali berbagi cerita denganmu seperti waktu kita berdua masih belia. Kemana-mana kita selalu bersama, hingga orang-orang menasbihkan kita sebagai saudari kembar. Terkadang aku bingung dimana kesamaan kita? Tidak ada, kecuali kita sama-sama berwajah bulat seperti chandra di tanggal limabelas.
Kebersamaan kita tentunya tidak semulus jalan tol trans jawa. Kisah kita layaknya jalan beraspal penuh lubang. Ada kalanya kita akur, ada kalanya kita saling menjauh. Namun, lagi-lagi entah apa yang menjadi magnet kita berdua hingga selalu berakhir kembali berkawan.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana kisah kanak-kanak dan remajaku tanpa adanya kamu di hidupku. Sifatmu yang riang memberi warna di hidupku yang datar tanpa ombak. Seandainya kita masih bersama hingga kini ....
Saat kau pergi dari kota ini, tiada kata yang mampu terucap. Aku memang seorang introvert yang tak mampu mengungkapkan isi hati lewat ungkapan kata. Mungkin menurutmu aku baik-baik saja karena tak ada sekelumit emosi nampak di raut wajah. Namun, kamu salah, karena terlalu banyak onak di hati hingga tak ada sepatah kata yang keluar dari lisan.
Aku didera nestapa kala kau pergi karena aku tak disana untuk melepasmu. Sebab aku tidak ingin menangis di depanmu. Cukup malam saat kau pamit aku membendung air mata yang hendak menguar.
Hari-hari ketika hadirmu tak lagi menyapa, hidupku jadi monoton. Tak ada lagi kawan yang mengerti diriku sebaik dirimu. Ada kalanya aku rindu saat kita bersepeda setelah lembayung, melewati pematang tak pedulikan petang. Atau saat kita menghabiskan malam minggu berdua saling bercerita perihal buana di teras rumahmu.
Akankah kelak kita bisa mengulang kembali masa-masa itu? Aku selalu berharap kita akan berjumpa di kemudian hari. Meskipun aku tidak memiliki jaminan kapan kita akan bersua lagi. Setahun atau sepuluh tahun? Tak ada yang menahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H