Mohon tunggu...
Popy Purwono
Popy Purwono Mohon Tunggu... Administrasi - Staff PPIC

Hidup adalah sebuah medan perang, dan kemenangan sejati adalah mengalahkan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Yang Hilang Akan Berganti (Senandika)

24 Juni 2022   22:45 Diperbarui: 24 Juni 2022   22:47 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terpaan lembut anila kala senja membawa kenangan lama. Lembayung yang menggantung di langit bagaikan simpul kenangan yang saling terjalin. Sang surya yang beranjak menghilang di ufuk barat kala itu menjadi saksi terakhir kalinya kita berjumpa.

Hari itu adalah kali kedua kita bertemu. Menghabiskan hari berkeliling Kota Patria, dengan sepeda motor tua kesayanganmu. Kau perlihatkan kota tempatmu tumbuh. Namun, sepanjang jalan kau banyak diam membisu. Sesekali menjawab rikuh pertanyaan-pertanyaanku yang mencoba membangkitkan suasana. Aku merasa peran kita sedang terbalik, bukankah seharusnya aku yang tersipu malu?

Tiba saat sinar mentari mulai menguning, teriknya tak lagi menyengat kulit. Menandakan masanya kita harus berpisah. Diujung waktu kebersamaan, aku masih menantikan obrolan yang mungkin bisa tercipta. Ternyata semua hanya angan belaka, karena kau masih saja bungkam. Akupun jadi tak berani memulai kata.

Layaknya cahaya tersapu jelaga, imajinasi tentang kita pun ikut sirna. Ku kira setelah pertemuan hari itu kita selangkah lebih dekat. Apakah aku salah sudah menggantungkan harap?

Ketika hatiku luluh, kau tetiba dihinggapi ragu. Kau yang berawal menawarkan asmaraloka, tetapi kini kau pula yang melepas asa. Berkilah jika kita berbeda. Ah, aku jadi teringat jargon 'kau terlalu baik untukku' yang ku anggap lucu. Namun, saat aku dengar alasanmu tak ingin maju, aku jadi muak dengan kalimat itu.

Meskipun hati ini merintih, tak akan kubiarkan tangis membasahi luka. Aku tak ingin terus larut dalam nestapa, pun harus bisa melupakan kisah kita yang bahkan belum berawal. Aku tak akan memperjuangkan seseorang yang tak ingin berjuang. Meski sakit, aku rela melepasmu yang enggan berupaya.

Mungkin memang benar kau bukan jodoh yang dipilihkan Tuhan untukku. Cukup sampai di sini kisah kita tertulis, akan kututup lembaran ini. Selamat tinggal, tuan yang pernah singgah untuk pergi. Akan kuobati luka dan dan jaga hati untuk seseorang yang menjadi takdirku nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun