Setiap pasangan yang telah mengikat dalam sebuah perjanjian suci dan agung, memiliki buah hati merupakan salah satu harapan. Sebuah keinginan yang selalu digantungkan dalam setiap untaian doa dan desahan nafas pada yang pemilik alam.
Allah mengabulkan permohonan kami.
Di usia ketiga pernikahan, aku hamil.
Sebuah penantian yang kami rasa sangat panjang dan membuat was was serta cemas. Hari berganti hari, minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan kami tapaki dengan penuh syukur dan berharap, kelak bayi dalam kandunganku menjadi anak sholeh yang berbakti pada agama, orang tua dan bangsa. Secara fisik, pemeriksaan rutin aku lakukan ke dokter spesialis kandungan di rumah sakit ibu dan anak. Biaya yang dikeluarkan cukup besar tapi sebelumnya sudah kami siapkan untuk biaya kehamilan, persalinan dan kebutuhan calon buah hati kami.
Sembilan bulan yang dilalui terasa sangat lama.
Jam 1 malam aku terbangun, saat terasa bagian kewanitaanku basah seperti mengompol. Degghh…aku pikir ketubanku pecah, tapi belum ada rasa mulas yang ku rasa. Segera ku bangunkan suami untuk bersiap-siap menuju rumah sakit sedangkan aku berkemas membereskan semua tas dan persiapan untuk persalinan. Angin dini hari yang menusuk tulang tidak menyurutkan kami untuk bersegera ke ruang IGD.
Betul saja, air ketubanku sudah pecah. Menurut perawat IGD yang memeriksaku, aku diminta menunggu untuk pemeriksaan oleh bidan. Tidak lama berselang bidan memeriksaku dan mengatakan bahwa belum ada bukaan walau sudah pecah ketuban. Aku pindah ke ruang perawatan karena perkiraan lahir masih beberapa jam ke depan.
Syukurlah….aku dan suami saling menguatkan bahwa si buah hati akan aman dan selamat lahir. Suami mengajak bicara bayiku agar tenang sambil mengusap perutku dengan lembut. Namun, setelah pemeriksaan USG oleh dokter, bayi harus segera dikeluarkan karena ketuban yang keluar sudah banyak sehingga bayi akan kesulitan bernafas.
Aku dan suamiku mengikuti saran dari dokter. Dokter pasti mengetahui yang terbaik bagiku dan bayiku.
“Oaaaa…suara bayi kami terdengar sangat keras.
Suamiku yang mendampingiku saat proses persalinanku terlihat sangat sumringah dan bahagia saat mendengar suara tangisan bayi kami dan perawat memperlihatkan kepada kami bayinya. Suamiku segera menggendongnya untuk di adzani.
Kebahagiaan kami sebagai suami istri lengkap sudah. Sebuah anugerah yang tak terperi. Namun, kesedihan menghantui hati kami saat dokter mengatakan kalau bayi kami tidak memiliki lubang anus. Operasi adalah jalan satu-satunya. Air mata bahagia berganti dengan air mata kesedihan. tidak tega rasanya melihat bayi kecil mungil yang masih merah harus menjalani operasi. Tapi demi berlangsungnya kehidupan si buah hati yang kami harapkan, kami mengikhlaskan untuk operasi membuat lubang anus sementara.
Berita duka disampaikan oleh dokter, kalau bayi kami mengidap down syndrome….ya Allah, kami menerima ujian-Mu. Tidak semata-mata Engkau berikan ujian kecuali kami mampu untuk menghadapi dan menjalaninya. Berat memang sangat berat. Tapi inilah jalan kehidupan kami. merawat anak “luar biasa” kepada kami. Dengan tekad yang kuat, insyaAllah kami akan merawat dengan sepenuh cinta dan kasih sayang. Semoga banyak kebaikan dan pahala di balik ujian ini.
*Terima kasih sharingnya sahabat…(cerita kehidupan seorang sahabat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H