[caption id="attachment_361234" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber Foto by AJWI/Popi R: kiri ke kanan: Ketua DPD DKI Ikadin Agung Sri Purnomo, Ketum Peradi Frans Hendrawinata, Magdir Ismail, Sekjen Ikadin Zulkifli Nasution, Ketum Peradin Ropaun Rambe, Wakil Ketum Ikadin Roberto Hutagalung (Seminar Nasional IKADIN menyongsong RUU Avokat, Selasa (23/9/2014) di hotel Peninsula,Jakarta)"][/caption]
Kompasiana - Jakarta. Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat yang direncanakan akan diumumkan hari ini, Rabu (24,9,2014), ditolak atau disahkankan oleh DPR RI akan menuai pro dan kontra terhadap organisasi advokat. Ketua Umum Peradin Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Ropaun Rambe mengatakan akan melaporkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebagai bentuk korupsi, jika RUU Advokad dibatalkan. Ia beralasan, sudah terlalu lama RUU Â tersebut digodok di Senayan, diperkirakan telah menghabiskan anggaran negara sekitar 17 Milyar.
" Kalau sampai tanggal 30 September ini DPR tidak mensahkan RUU Advoakd, kita akan melaporkan anggota atau pansus DPR ke KPK, karena negara dalam hal ini dirugikan senilai 17 Milyar, dimana biaya tersebut dipergunakan antara lain study banding kebeberapa negara, kegiatan sosialisai, dan sebagainya, "kata Ropaun Rambe dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh IKADIN di hotel Peninsula, Jakarta, Selasa (23/9/2014).
Ropaun yang telah berkecimpung lama di advokat menjelaskan, RUU Advokat tersebut harus disahkan menjadi Undang-Undang (UU), karena dalam RUU tersebut mengatur pola pendidikan advokat dan adanya suatu badan yang terakreditasi yaitu Dewan Advokad Nasional (DAN), sehingga mutu organisasipun akan semakin baik.
Pandangan segelintik menolak DAN dianggap keliru, kata Rambe, karena DAN tidak menjadikan advokat yang dikontrol oleh pemerintah, justru lembaga ini akan bekerja lebih mengawasi para advokat dan menyelenggarakan untuk para advokat.
"Saat ini yang terjadi advokat menghadapi menghadapi oligarki kepengurusan yang terus menerus mau bercokol disitu, sehingga tidak ada regenerasi kepengurusan. Ini sangat bertentangan sejarah organisasi advoakat dimanapun. Disini Para senior advokat ingin membatasi masa jabatan advokat, hanya diperbolehkan dua kali menjabat. Kalau sudah tiga kali, berarti ini sangat keterlaluan, "ujar Rambe.
Selama ini komerisasi jabatan terjadi, seperti  memperdagangan pendidikan advokat bagi yang menempuh ujian advokat, termasuk sumpah, padahal ini merupakan hak negara, Secara universal diseluruh dunia organisasi advokat tidak pernah komersial dan memperdagangkan pendidikan dan ujian advokat. Itu semua harus masuk ke kas negara dan diawasi oleh negara, tutur
kata Ropaun.
Jadi pemungutan uang dalam organisasi, itu tidak dibenarkan, karena dalam kaidah universal mengatakan organisasi advokat tidak boleh mendapat penghasilan dari pendidikan, ujian apalagi sumpah. Atau uang nya masuk negara atau ada satu organisasi yang ditunjuk untuk mengelola ini.Ia (organisasi) boleh hidup dari iuaran dan sumbangan anggota yang tidak mengikat.
Contohnya di Inggris kurikulum advokat oleh Menteri Kehakiman, Belanda dan Inggris oleh Mahkamah Agung, serta di Amerika Serikat disertitifikasi oleh Ketua MA. Sehingga peran negara dalam amandemen atau uu advokat yang baru ruu ini semua sudah diatur. Dimana DAN, lembaga negara yang berperan untuk mengawasi supaya tidak terjadi oligarki dan komersialisasi.
Negara yang maju seperti Belanda, AS, mengikuti magang hanya memakan waktu dua tahun, karena magang juga bukan magang teori, tetapi ujiannya ada pengetesan politik, ujian praktek, setelah itu magang dan berpraktek langsung, jadi tidak hanya berteori saja seperti saat ini.