Bagaimana aku bisa menaruh hati pada yang lain, saat cintaku belum pernah sekali pun berlabuh untuk pria yang merajut serat dagingnya sendiri untuk pakaianku?
Bagaimana mungkin aku mampu merindukan orang yang muncul di pertengahan hidupku, sementara orang yang sepenuhnya membuatku terus hidup dan bertahan belum mampu aku rindui sedalam itu?
Terlalu naif aku jika berusaha mengabaikannya, masa kecil yang diberikan tawa sepenuhnya malah berujung tangis untuk orang lain.
Manis yang mengalir dalam nadiku adalah sari dari ampas hambar yang dia cerna untuk menghidupiku.
Kata cinta yang aku tahu adalah pemberiannya yang malah aku berikan pada yang lain. Kapan sebenarnya aku akan membalasnya?
Air mata yang tak sengaja menetes dari mataku, ditampung sedemikian rupa agar aku tidak begitu terluka. Sudahkah aku pernah sekadar menyeka tetesan air di pipinya? Tanpa harus dengan hati, cukup dengan jari, pernahkah?
Tanpa sadar detik demi detik hidupku terus bertahan dari mencuri usianya. Duduk di atas tulang rapuhnya. Setiap napasku adalah napasnya yang dibagi kepadaku.
Bahkan setiap kata dalam ketikan ini adalah separuh hidupnya, yang aku ambil untuk menguatkan hati. Untuk mengingat betapa berharganya diriku, melebihi dirinya sendiri.
Kali ini aku yang akan datang, aku yang akan memeluknya. Dekaplah aku sampai benar-benar waktu yang memisahkan kita. Tidak akan kubiarkan penyesalan yang menghiasi akhir cerita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI