Mohon tunggu...
Tanjung anom
Tanjung anom Mohon Tunggu... -

Tanjung anom, adalah manusia PENDOSA yang ingin membangun bebarengan, kekeluargaan, dan ingin berada didalam keselamatan lahir dan batin semoga di ridhoi dan dalam fadhal dan RahmatNya. email. aaanoom@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tarik Ulur Pemikiran

6 Agustus 2016   17:17 Diperbarui: 6 Agustus 2016   17:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia sering berpikir melalui akal pikirannya bahwa, kehidupan ini tarik ulur dualitas yang berhadapan secara diametral. Ada sisi baik ada sisi buruk, ada sisi kanan ada sisi kiri, ada sisi benar ada sisi salah, ada bahagia ada sengsara, ada jalan benar ada jalan tersesat; ada pandangan reduksionis yang memecah-mecah sesuatunya menjadi bagian-bagian yang terpisah dan ada pandangan holistis sebagai gambaran besarnya. Ada pohon ada hutan. Ada hutan pasti ada pohon. Ada pohon belum tentu hutan. Seseorang yang tidak bisa menggabungkan dualitas kehidupan yang tampak bertentangan, mereka akan hidup terputus-putus. Bagi sebagian orang, dunia ini logis dan masuk akal, tetapi dengan ketiadaan makna atau tujuan, yang lain mungkin mendapati dirinya merasa damai dan puas, tetapi tidak memiliki ketertarikan atau motivasi spiritual

Kesadaran baik buruk dan dualitas kehidupan, setiap orang pasti mengalami sebagai pengalaman subyektifitas, yang juga tergambar, muncul dari jaringan mahaluas proses saraf yang saling terhubung. Pengenalan diri akan pengalaman internal ini mungkin merupakan ungkapan puncak fungsi holistik menuju ranah spiritualitas. Segala sesuatunya akan diperhitungkan sebagai bagian dari kehidupan yang menciptakan sistem keyakinan seseorang.

Sebagian keyakinan memiliki nilai emosional, ada yang mampu mengendalikan emosinya menjadi pelontar menuju pada level kesadaran namun, tidak sedikit yang memunculkan respon dan reaksi taklid buta, kaku dan beku sehingga tidak mencapai pada level kesadaran. Sehingga memunculkan “obsesi-obsesi” kehidupan yang selalu diperhitungakn melalui numerik angka-angka.

Bagi mereka yang berada dalam level kesadaran, pengenalan diri sebagai jembatan maka, ikatan emosi adalah pelontar yang menggetarkan nilai-nilai dan saat seseorang telah merasa menjadi bagian dari dunia yang menyeluruh, tanpa batas dan tanpa tepi maka, adanya kesiapan menuju manusia seutuhnya. Memanusiakan manusia. Manusia yang spiritual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun