“Sholeh, sebaiknya loh ke rumah deh, ada lansia terlantar, gua nggak bisa kerja jika terus begini. Nanti ceritanya di sini,” pinta temanku, Bu Marcella melalui sambungan telepon.
Jika hingga Bu Marcella menelpon dan tidak menjelaskan panjang lebar, pastinya kondisinya darurat. Sebagaimana saya ketahui, Bu Marcella sendiri adalah sama-sama pekerja sosial seperti saya, namun dia adalah salah satu pelopor aktivis soasial spesialis masalah orang terlantar dengan kejiwaan. Tak ingin lama-lama berfikir, saya pun langsung bergegas ke lokasi menjemput pasien terlantar itu.
Setibanya di lokasi, saya pun lakukan tindakan pertolongan pertama sebagaimana prosedur menangani kalangan orang terlantar. Jika dia dalam kondisi sakit segera di rujuk. Alhamdulillah kondisinya lumpuh tapi masih sehat. Prosedur berikutnya, jika dia masih dapat diajak komunikasi dengan baik, kami pun menanyakan identitasnya. Selain KTP, biasanya saya berharap dia masih mampu mengingat keluarganya. Tujuannya, untuk mengembalikan ke rumah saudaranya kembali agar lebih diperhatikan.
Oke, ternyata dia masih mampu mengingat dengan baik siapa-siapa kerabatnya, bahkan menyimpan nomor-nomor ponsel mereka.
“Aman Bu Marcella, pasien menyimpan banyak nomor kerabatnya,” kataku dengan senyum pada Bu Marcella.
“Coba elo coba hubungi mereka dan jangan kaget..,” tandas Bu Marcella dengan muka rada masam keheranan.
Bingung dengan jawaban Bu Marcella, saya pun mencoba menghubungi.
Dan, sebelum menghubungi keluarganya, saya berpamitan pada oma tersebut untuk menelpon keluarganya.
“Oma, cantik..!!! Oma tenang dulu ya, kita mau antar oma ke keluarganya,” kataku menjelaskan.
“Tidak..!!, jangan pulangkan saya ke mereka,” kata oma terlantar meninggi.
Sepertinya ada yang tidak beres, lazimnya lansia normal sangat senang jika dipertemukan kembali dengan keluarganya. Namun ini beda, “menolak”.