Mohon tunggu...
Ponco Kusumo
Ponco Kusumo Mohon Tunggu... -

Menyukai musik, Biola, Menulis, Buku, Jalan, dan sangat senang nonton sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Laron (Bagian 2)

12 November 2013   22:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:15 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayang, mengapa engkau begitu kesal kepadanya? Apakah karena sayapnya yang berguguran di lantai kamar? atau karena tanpa permisi ia terbang melewati wajah kita? Biarlah ia terbang. Tak perlu kau begitu kesal.

Aku tidak sedang membelanya. Lagipula memang bagiku ia tak butuh dibela. Lihatlah caranya terbang, ia tidak berdesing seperti nyamuk yang penuh waspada saat menafkahi hidupnya. Ia juga tidak meninggalkan gatal pada kulit yang bersentuhan dengan tubuhnya. Memang ia bukan kupu-kupu yang terbang dengan sayapnya yang indah dan membuat kita terpukau. Bukan pula kunang-kunang yang bercahaya di hamparan padi hingga membuat kita penasaran lagi takjub dan bertanya-tanya,"mengapa ia harus bercahaya kalau itu justru membuat keberadaannya lebih mudah dilacak oleh pemangsa?"

Itulah laron. Tak pernah dalam sejarah hidupnya dibela dan meminta pembelaan. Ia datang begitu saja pada suatu bulan dimana ia pernah bersepakat pada hujan. Lalu pergi meninggalkan sayap yang membuatmu cukup kesal padanya. Tapi dialah penulis cerita itu. Di suatu subuh dalam ingatan, ia mengajak kita berlari memburunya, menikmati waktu saat perlahan udara menjadi hangat. Cerita itu, adalah dongeng kanak-kanak yang lekat dalam ingatan kita. Dongeng yang hidup saat kita masih terlalu kecil untuk menterjemahkan dewasa. Tahun demi tahun berganti, dari satu generasi ke generasi, laron terbang mengajak anak-anak berlari. Masih menuliskan dongeng, saat manusia mulai berhenti menuliskannya dan mempercayainya.

Tak perlu kita mematikan lampu. Duduk dalam keremangan dan menunggu ia terbang menjauh. Ia tak meminta dibela, namun dunia bukan milik kita saja. Biarkan ia terbang mewujudkan tarian. Sembah syukur atas cahaya. Makhluk kecil tak berdaya. Sasmita hidup yang sementara.

12 november 2013

Ponco Kusumo Bawono Tunggal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun