“Anak-anak, coba sebutkan cita-cita kalian bila sudah besar nanti?” Seorang wanita paruh baya berdiri di depan puluhan muridnya.
Sebuah cuplikan peristiwa ketika seseorang berada di taman kanak-kanak. Pertanyaan itu disambut dengan berbagai macam jawaban dari murid-murid yang duduk di bangku warna-warni di dalam kelas yang penuh dengan aneka rupa kerajinan tangan. Ada yang menjawab ingin menjadi guru, polisi, dokter, tentara, pemain sepak bola, dan berbagai jawaban lainnya yang bisa disebutkan, dituliskan dan digambarkan oleh murid-murid dengan berbagai warna yang ceria melalui pensil warna dan pastel. Barang kali jika anda pernah melalui peristiwa tersebut, masih terbesit ingatan bahwa cita-cita itu begitu mulia dan begitu berharga.
Pada kesempatan berikutnya, ketika seorang dewasa, ada beberapa orang yang beruntung mampu meraih cita-cita yang pernah ia sebutkan ketika ia masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Ada pula mereka yang menapaki jalan yang berbeda dengan cita-cita masa kanak-kanak, dengan berbagi pertimbangan. Atau mungkin cita-cita masa kanak-kanak adalah sebuah hal yang bersifat sementara. Jika memang cita-cita masa kanak-kanak itu bersifat sementara, namun tidak berarti hal tersebut mengaburkan makna sebenarnya yaitu bahwa cita-cita masa kanak-kanak tersebut didasarkan pada pengetahuan sederhana, bahwa menjadi guru itu adalah pekerjaan mulia, bahwa menjadi polisi dan tentara itu pekerjaan yang gagah berani dan terpuji, bahwa dengan menjadi dokter, ia dapat membantu orang-orang yangsedang sakit. Semuanya tentang kebaikan dan anak-anak itu bangga memberikan kebaikan pada sesama, pada orang-orang sekitarnya.
Agaknya, ketika dewasa, ketika seseorang mampu menganalisa berbagai pertimbangan, ketika zaman begitu menghimpit hingga ruang-ruang kerja menjadi begitu sempit, mampu mengaburkan makna dari cita-cita. Makna yang mulia. Dan akhirnya perlombaan menjadi guru, polisi, tentara dan berbagai profesi lainnya menjadi perlombaan memperoleh kerja yang tak jarang kita menemui berbagai upaya yang tidak sportif agar keinginannya terwujud. Uang adalah salah satu kekuatan untuk mempermudah memenangkan persaingan memperoleh pekerjaan.
Kekhawatiran terbesar adalah ketika perlombaan memperoleh pekerjaan mengaburkan makna tentang pengabdian. Meraih pekerjaan dengan pertimbangan kehidupan yang mapan memang sebuah kebenaran, namun tidak lantas menyingkirkan arti pengabdian. Meresapi kata pengabdian dan mengendapkannya ke dalam hati itu seperti meletakkan dan menyusun batu pondasi sebuah bangunan. Harus benar dan tepat agar sebuah bangunan kokoh dan tak mudah rubuh. Seorang yang mengendapkan kata pengabdian dalam dirinya sebelum memulai niatan dalam pekerjaannya akan membawa dirinya pada profesionalitas, rasa cinta pada pekerjaannya, rela berkorban, dan mendahulukan kepentingan bersama.
Dan jika kita mengurai kata pengabdian, ia memiliki makna sebagaimana cita-cita masa kanak-kanak, bahwa setiap cita-cita itu adalah keinginan murid untuk mengabdi pada kebaikan, pada kemanusiaan, memberikan rasa cinta dan sayang pada sesama.
Semoga kata pengabdian tidak menghilang dalam sanubari para pemimpin dan bangsa ini. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H