Pada 6-7 dan 9 November 2014 ini, Taman Budaya Yogyakarta sebagai UPTD Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Gelar Musik Orkestra 2014 dengan tema Gelar Tembang Nusantara. Pagelaran ini merupakan yang ketiga kali sejak tahun 2012. Jum’at malam, tanggal 7 November 2014, Gelar Tembang Nusantara dimeriahkan dengan Sapto Kusbini Orkestra, Orkes Tresnawara, Saraswati Bigband Orchestra, OK. Kembang Mekar Sore, dan Gema Nusantara Orkestra. Musik keroncong yang dimainkan dengan format orkestra dan ensambel memberikan warna baru yang menghibur audience.
Pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak pembaca membahas persoalan perlukah Yogyakarta memiliki concert hall baru? Dengan mengacu pada penyelenggaraan Gelar Musik Orkestra 2014, ada beberapa poin penting yang bisa kita perhatikan. Pertama, Gelar Musik Orkestra 2014 yang bertempat di Concert hall Taman budaya Yogyakarta kali ini cukup menyedot perhatian masyarakat Yogyakarta. Terbukti ada banyak audience yang hadir pada pagelaran kali ini dan terbilang hampir memenuhi kursi yang tersedia di Concert Hall Taman Budaya. Terlepas dari sebab apakah karena pertunjukan tersebut gratis, namun nyata bahwa masyarakat menaruh perhatian dan minat pada musik orkestra.
Kedua ialah peran concert hall bagi musik orkestra. Apabila kita mengacu pada musik orkestra di Barat, concert hall berperan sangat vital bagi kualitas bunyi yang dihasilkan sebuah orkestra. Artinya, concert hall yang bagus adalah yang memiliki kualitas akustik yang baik. Kualitas akustik ini berkaitan erat dengan konstruksi pembangunan gedung, perhitungan arsitektur serta materi-materi yang dibutuhkan untuk menghasilkan concert hall tanpa ada gema ketika instrumen dibunyikan dan mampu menghasilkan perambatan dan penerimaan bunyi yang baik ke seluruh ruangan. Dengan adanya concert hall dengan kualitas akustik yang baik, maka sebuah orkestra tidak membutuhkan lagi mikrofon untuk menghasilkan bunyi yang dapat menggapai penonton yang berada pada barisan paling ujung.
Ketiga ialah bagi kepentingan orkestra itu sendiri. Kembali mengingatkan bahwasannya, proses penggarapan musik orkestra ini dapat memakan waktu satu hingga dua bulan, bahkan lebih. Konduktor orkestra bekerja keras menggarap musik yang akan disajikan dengan detail dan teliti. Penggarapan musik orksetra ini tidak hanya sekadar agar seluruh orkestra dapat berjalan merangkaikan nada-nada seluruh instrumen dari awal hingga akhir tanpa terhenti. Namun juga terdapat penggarapan penting sebagai contoh dinamika pada musik, yaitu bagaimana konduktor menghendaki pada bagian-bagian tertentu sebuah karya musik, instrumen dimainkan dengan lirih atau keras. Gradasi bunyi ini dapat secara otomatis terdengar dan dirasakan apabila concert hall memiliki kualitas yang baik.
Apabila sebuah pertunjukan orkestra menggunakan mikrofon dan speaker, boleh jadi dapat menimbulkan beberapa masalah. Misalnya, permasalahan mikrofon yang tiba-tiba tidak berfungsi atau kualitas speaker yang buruk hingga permasalahan kualitas sound engineer yang kurang memadai. Sepengetahuan saya, sound engineer untuk pertunjukan musik orkestra, haruslah mengerti penggarapan musik orkestra, bahkan lebih detail lagi ia harus mempelajari dan mencermati karya musik yang akan disajikan orkestra dengan memperhatikan partitur karya musik atau berdialog dengan sang konduktor. Hal ini penting karena dalam penggarapan musik orkestra terdapat pembagian bunyi misal saat di mana biola menjadi dominan dengan memainkan melodi, atau pun saat instrumen tiup menjadi melodi utama dan instrumen lainnya menjadi iringan.
Itu ketiga poin yang bisa kita dapatkan dari pertunjukan Gelar Musik Orkestra 2014 sebagai pertimbangan tentang perluhkah Yogyakarta memiliki concert hall baru. Lantas adakah hal lain yang dapat menjadi pertimbangan tentang perlunya concert hall baru bagi Yogyakarta? Pertimbangan pertama tidak dapat dipisahkan dari dikenalnya Yogyakarta sebagai kota seni dan budaya oleh masyarakat luas khususnya masyarakat Indonesia dan Yogyakarta sebagai tempat berdiri perguruan tinggi seni yaitu Institut Seni Indonesia. Menginjak usia yang ke 30, ISI Yogyakarta khususnya fakultas seni pertunjukan, jurusan musik, telah melahirkan banyak sekali pemain musik yang menggeluti musik orkestra. Maka, apabila terdapat concert hall baru dengan akustik yang baik dan bertempat di pusat kota, maka concert hall tersebut dapat menjadi rumah bagi orkestra profesional milik Yogyakarta sendiri.
Apa yang saya maksud sebagai orkestra profesional milik Yogyakarta, ialah orkestra yang memang dikelola oleh pemerintah kota Yogyakarta. Orkestra tersebut ibarat sebuah lembaga, berdiri tetap dengan jadwal konser yang memang telah disusun rapi sejak awal tahun hingga akhir tahun. Sebagai contoh, kota Berlin, Jerman, memiliki Berliner Philharmoniker Orchestra dengan jadwal pertunjukan musik dari bulan januari hingga desember. Memang untuk dapat membentuk orkestra profesional tersebut bukanlah hal yang mudah dan murah, sudah barang tentu perlu komunikasi antara pemerintah kota Yogyakarta dan ISI untuk sebuah kesepakatan dan kesanggupan melangsungkan hidup orkestra yang diinginkan. Namun hal itu patut menjadi pertimbangan.
Pertimbangan kedua ialah dengan adanya orkestra profesional Yogyakarta maka hal itu dapat memberikan peluang bagi komposer-komposer Indonesia untuk menyajikan karya ciptanya. Dengan disajikan karya-karya musik komposer kita pada orkestra, maka akan membuat masyarakat tahu bahwa ada komposer kita yang memiliki karya musik yang disajikan dalam bentuk orkestra. Penyajian karya musik orkestra yang dilangsungkan secara kontinyu akan memberikan edukasi pada masyarakat bahwa musik tidak semata-mata apa yang dihasilkan oleh industri musik pop saat ini. Musik juga tidak melulu sebuah hiburan belaka, namun juga membutuhkan perhatian, pemikiran, dan penghayatan hingga pengkajian melalui disiplin ilmu lain.
Dengan munculnya karya-karya komposer ini, maka akan membuat musik Indonesia menjadi semakin kaya baik dalam karya musik itu sendiri ataupun dalam bentuk kajian yang diliterasikan oleh para pengamat musik dan kritikus musik. Dengan begitu Yogyakarta telah berpartisipasi bagi perkembangan musik di Indonesia. Lantas, pertimbangan ketiga ialah dengan berdirinya orkestra profesional ini dapat menambah jumlah pilihan pariwisata di Yogyakarta selain warisan budaya dan sejarah juga wisata alam. Orkestra profesional milik Yogyakarta ini boleh jadi mampu menarik pengunjung baik dalam negeri maupun manca negara untuk menikmati sajian musik dan komposisi musik baru karya putra-putri Indonesia. Beberapa poin ini semoga menjadi pertimbangan bagi Yogyakarta khususnya pemerintah kota untuk mengkaji lebih jauh tentang perlunya pengadaaan concert hall baru di Yogyakarta.
Ponco Kusumo Bawono Tunggal
Mahasiswa aktif, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Musik, Musikologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H